Wilayah Bandung Raya khususnya daerah selatan di Kota Cimahi dihadapkan pada ancaman nyata akibat kritisnya kondisi air tanah. Ancaman kekeringan diprediksi terjadi pada tahun 2050 mendatang.
Lantas bagaimana solusi untuk memperlambat potensi kekeringan itu? Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas upaya mengatasi kekeringan di Cimahi dan cekungan Bandung secara umum menjadi tanggungjawab bersama.
"Urusan air ini jadi kewajiban pemerintah. Ketika masyarakat harus bagaimana, masyarakat berusaha sebisa mungkin menghemat air saja. Bisa saja melakukan water recycling, tapi kalau mampu kan butuh biaya," ujar Heri saat dihubungi detikJabar, Jumat (3/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Heri mengatakan perlu biaya besar agar mengatasi kekeringan di Bandung Raya. Terlebih porsi besarnya menjadi milik pemerintah daerah.
"Sebenarnya bisa dengan cari sumber air yang lebih bagus, pakai pipanisasi seperti di Jakarta. Atau di pesisir itu pakai desalinasi, mau tidak mau harus ke arah sana," kata Heri
"Memang biaya yang harus dikeluarkan lebih besar. Tapi melihat pemerintahan di kita, tentu dalihnya biaya dan ribet ke depannya," tambahnya.
Terlebih saat ini ketersediaan lahan hijau dan padatnya permukiman menjadi masalah lain. Apalagi untuk water harvesting atau air hujan ditampung kemudian dipanen.
"Nah untuk water harvesting kan butuh bak dan ruang. Rumah sekarang sudah sempit. Jadi boro-boro bisa harvesting rumah untuk aktivitas sehari-hari saja sudah sangat padat," ucap Heri.
Heri mengatakan saat pemerintah justru memilih solusi yang salah untuk mengatasi kekeringan yang sudah terjadi, yakni dengan membuat sumur artesis. Padahal sumur artesis merupakan sumber masalah rusaknya air tanah.
"Celakanya pemerintah membuat program sumur artesis untuk disalurkan ke masyarakat dan industri kan. Ini sebenarnya langkah yang kurang tepat, tetapi itu menjadi pilihan mudah bagi pemerintah. Pemerintah tidak mau sulit, ya solusi instannya seperti itu," kata Heri.
(dir/dir)