Seabad lalu, Observatorium Bosscha berdiri di atas tanah Pasundan. Tepatnya di Lembang, Kabupaten Bandung Barat yang saat itu Indonesia juga masih disebut Hindia-Belanda.
Kiprah panjang dan terjal dilalui Observatorium Bosscha sejak 1 Januari 1923 sampai tahun 2023. Berdirinya Bosscha juga mengawali tonggak astronomi modern di kawasan Asia Tenggara.
Peran penting dan luar biasa observatorium yang pembangunannya digagas seorang pria Belanda keturunan Jerman, Karel Albert Rudolf Bosscha itu, kini menghadapi ancaman nyata nan serius dari polusi cahaya yang kian waktu kian memburuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Observatorium Bosscha Premana W. Premadi mengatakan polusi cahaya bagi observatorium yang keberadaannya bertujuan mengamati benda langit bakal berpengaruh pada fungsi alat dan efektivitas pengamatan yang dilakukan.
"Pun luas pengamatan di Observatorium Bosscha mengalami pengurangan. Meskipun sampai saat ini kita tetap masih bisa melakukan pengamatan dengan baik. Tapi kegiatan pengamatan di bagian selatan terhalang cahaya dari sekitaran Lembang dan Kota Bandung," ujar Premana saat berbincang dengan detikJabar.
Ia mengatakan ancaman polusi cahaya dari wilayah Bandung Raya mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 1980-an. Faktor utamanya yakni penambahan jumlah penduduk dari waktu ke waktu dan berkembangnya sektor ekonomi di kawasan Lembang di luar perternakan dan pertanian.
"Kita punya dokumentasi foto cahaya artifisial dari Kota Bandung di tahun 80-an. Sampai sekarang ini terus meningkat intensitasnya," kata Premana.
"Ada perubahan sektor pertanian dan peternakan menjadi tempat komersial, penginapan, toko, rumah makan, wisata, kendaraan, dan jumlah masyarakat makin banyak. Itu faktornya," tambahnya.
Premana menyebut saat ini pengamatan masih bisa dilakukan, namun dalam beberapa momen perlu ada penyesuaian. Misalnya mesti dilakukan 30 derajat di atas ufuk dan dilakukan di atas pukul 22.00 WIB. Ditambah sejumlah teleskop memiliki batas jarak pengamatan.
"Kita punya berbagai jenis teleskop dengan jarak pengamatan terbatas. Jadi sampai saat ini dengan teleskop yang ada masih bisa mengamati dengan baik di atas 30 derajat di atas horizon," kata Premana.
Namun pada beberapa sisi lainnya, misalnya ke arah Selatan pengamatan sudah sangat terganggu oleh cahaya dari Kota Bandung. Pun ke arah utara yang terganggu cahaya Kota Lembang.
"Tapi di atas 30 derajat kita masih mengamati dengan baik, apalagi jam 10 malam sampai fajar, bertepatan dengan malam cerah agar masih bersih dari polusi cahaya," ucap Premana.
Perlu Segera Ditangani
Dampak polusi cahaya bukan saja menghambat kegiatan pengamatan benda langit. Tanpa disadari oleh manusia, hewan-hewan nokturnal atau yang beraktivitas pada malam hari juga jadi korban.
"Astronomi paling ribut soal polusi cahaya, tapi ada yang terdampak cuma nggak bisa protes, ya itu tadi binatang nokturnal yang bergantung pada cahaya natural. Cahaya artifisial itu kan bisa membingungkan mereka saat beraktivitas," tutur Premana.
Menurutnya, polusi cahaya sebenarnya jenis polusi yang bisa dicegah dengan mudah jika semua pihak mau serius. Dari sisi regulasi misalnya, cukup dengan membuat aturan pemanfaatan cahaya.
"Jika tidak bisa dengan langkah sederhana seperti membuat tudung lampu. Di Indonesia belum ada aturan khusus, meskipun sebenarnya sudah ada peraturan gubernur dan presiden tentang perlindungan terkait observatorium. Hanya saja turunannya belum sampai pada regulasi menekan polusi cahaya," kata Premana.
Di sisi lain, pihaknya konsisten membuat tudung lampu yang dibagikan ke masyarakat sebagai pijakan awal mengurangi dampak polusi cahaya jika belum ada regulasi yang bisa menekan dampaknya.
"Intinya bukan kita mendorong manusia hidup dalam gelap, tapi posisinya lampunya ke bawah, karena yang perlu diterangi kan di bawah," tutur Premana.
Sementara itu Rektor ITB Reini Djuhraeni Wirahadikusumah menyebut polusi cahaya pada perspektif lainnya menjadi tantangan yang mesti dijawab dan dicari solusinya. Terlebih pada perjalanan panjang Observatorium Bosscha sebagai landmark sains di tanah air.
"Ya semua pasti ada tantangannya ya, lakukan saja, optimis saja ada jalannya. Pasti sesuatu kalau kita mempunyai jalan yang sama, makanya kita harus aware menyadari tujuan keberadaan ini (Observatorium Bosscha)," ujar Reini.
"Kondisi astronomi jelas terganggu memang, tidak ideal. Tetapi kan di seluruh dunia selalu ada tantangan dari masa ke masa," tambahnya.
(mso/mso)