Keberadaan bangunan tua ini cukup terkenal di kalangan masyarakat, karena kerap dimanfaatkan untuk tempat bermain. Konstruksi bangunan bekas pabrik berupa rangka beton dan gedung-gedung tua menjadi lokasi favorit bagi para fotografer.
Lokasi itu cocok untuk lokasi pemotretan atau sinema dengan konsep tertentu, bahkan tak sedikit yang menjadikan gedung tua Engsun sebagai lokasi pemotretan pra pernikahan.
Baca juga: Kuliner Unik Tasik! Sambal Bakar Remis Petai |
Selain fotografi, komplek gedung tua Engsun juga menjadi lokasi favorit bagi kegiatan war game alias perang-perangan komunitas air soft gun atau paint ball.
Tak hanya itu masih banyak kegiatan lain yang kerap dilakukan warga ketika berkunjung ke bangunan tua ini. Misalnya membuat konten Youtube, nongkrong menyepi dari keramaian.
Bahkan tak sedikit pula anak muda yang memanfaatkan kawasan itu untuk pacaran, tawuran atau mabuk-mabukan, meski hal itu sering kali direspons masyarakat sekitar dengan mengusir mereka.
![]() |
Kawasan gedung Engsun juga kerap dijadikan semacam shelter oleh sejumlah tuna wisma. Mereka membangun saung atau sekedar tempat berlindung di kawasan bangunan tersebut.
Terlepas dari hal itu , tidak sedikit masyarakat yang justru belum tahu sejarah atau asal-usul bagaimana kawasan pabrik dengan luas lebih dari 4 hektar itu terbengkalai.
Nama Engsun sendiri adalah nama dari pemilik aset tersebut. Sosok keturunan Tionghoa itu merupakan pengusaha terkenal di bidang produksi tepung tapioka alias aci. Tjap Obeng, itulah nama merk tepung tapioka produk Engsun.
Sekitar tahun 1975 dia kemudian melebarkan bisnisnya dengan membangun pabrik pengolahan sitrun alias asam sitrat, atau dalam bahasa lain dikenal dengan citric acid.
Dari pabrik Tjap Obeng di Jalan HZ Mustofa, dia membebaskan lahan ke belakang sampai ke dekat kawasan komplek olahraga Dadaha, kemudian membangun pabrik.
"Jadi bangunan gedung tua Engsun ini dulunya adalah pabrik sitrun, pemiliknya Pak Engsun yang punya Tjap Obeng," kata Kusmara (68), warga sekitar sekaligus mantan pegawai pabrik sitrun Engsun.
Dia mengatakan sitrun ini merupakan perasa asam untuk minuman atau makanan. "Kalau dulu sitrun itu untuk campuran limun, ya mungkin sekarang juga masih digunakan," kata Kusmara.
Rupanya operasional pabrik sitrun Engsun itu relatif tak berlangsung lama. Padahal kapasitas produksinya besar dan bisa menyerap tenaga kerja lebih dari 400 orang.
"Ini pabrik sitrun besar. Ton-tonan produksi setiap harinya. Pegawainya saja lebih dari 400 orang, termasuk saya juga pernah kerja di bagian produksi," kata Kusmara.
Di akhir dekade 70-an keberadaan pabrik ini menuai sorotan. Satu yang jadi persoalan adalah masalah pencemaran. Limbah produksi sitrun ini masuk ke saluran air dan menimbulkan bau yang mengganggu dan berdampak buruk bagi lingkungan.
"Tahun 1978 aktivitas pabrik mulai turun, limbah jadi masalah, banyak yang protes. Ini memang baunya nggak ketulungan. Saya waktu kerja saja, pakai masker kain tiga lapis masih tercium," kata Kusmara.
Menurut dia sitrun itu terbuat dari fermentasi ampas tapioka yang kemudian disuling dijadikan butiran kristal. "Ya jelas bau, kan terbuat dari ongok (ampas tapioka). Ongoknya saja sudah bau, apalagi difermentasi," kata Kusmara.
![]() |
Kisruh masalah pencemaran limbah itu akhirnya membuat Engsun memutuskan menyetop aktivitas usahanya di awal dekade 80-an.
"Pokoknya sebelum Gunung Galunggung meletus, pabrik ini sudah tutup. Jadi memang dapat dikatakan rugi besar, membangun pabrik segede ini tapi hanya beroperasi beberapa tahun. Akhirnya terbengkalai," kata Kusmara.
Karena lama terbengkalai, bangunan pabrik kemudian dibobol oleh orang-orang tak bertanggung jawab dari bagian samping, tepatnya dari Jalan Taman Harapan.
"Bobol dari samping kemudian besi-besinya habis dijarah. Ini yang sekarang tinggal rangka beton, dulunya bangunan utuh tapi besi-besinya habis dijarah," kata Kusmara. Jalan itu pula yang kini dijadikan akses masuk bagi masyarakat yang ingin melihat-lihat gedung tua Engsun.
Menurut Kusmara, keluarga pemilik lahan ini tak berkeberatan dengan aktivitas masyarakat di lahan mereka sepanjang digunakan hal-hal positif.
"Kalau Pak Engsun kan sudah meninggal dunia. Anak-anaknya kalau kebetulan lewat sambil olahraga suka menitipkan ke warga. Ya intinya asal jangan dipakai hal yang tak baik, kalau sekedar dimanfaatkan untuk foto-foto nggak masalah," kata Kusmara. (yum/yum)