Cerita di Balik Perjodohan Massal ala Ponpes Ciamis

Round-Up

Cerita di Balik Perjodohan Massal ala Ponpes Ciamis

Tim detikJabar - detikJabar
Rabu, 18 Jan 2023 07:20 WIB
Viral di media sosial acara khitbah atau perjodohan antara santri dengan santriwati yang dilakukan secara massal. Diketahui kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi.
Perjodohan massal di Ciamis. (Foto: 20Detik)
Ciamis -

Setelah sempat viral di media sosial tiktok, perjodohan santri dan santriwati massal di Pondok Pesantren (Ponpes) Ciamis memasuki babak baru. Mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Pihak Ponpes memastikan perjodohan itu bukanlah seperti kisah Siti Nurbaya.

Usai dijodohkan, sebanyak 10 pasang santri pesantren di Ciamis rencananya akan melangsungkan pernikahan pada 23 Januari 2023. Pernikahan itu akan digelar di Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, Kecamatan Jatinagara.

"Pada tanggal 23 Januari 2023 nanti sebanyak 10 pasang santri akan melaksanakan pernikahan massal," ujar Pimpinan Pesantren Miftahul Huda II Bayasari KH Nonop Hanafi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nonop mengatakan pernikahan massal tersebut sudah berlangsung ke-7 tahun dan merupakan agenda tahunan. Santri yang sudah dewasa di pesantren tersebut dinikahkan. Mereka kemudian akan terjun ke masyarakat menyebarkan ilmu dan dakwah.

"Tahun kemarin juga dilakukan pernikahan massal sebanyak 8 pasang, tahun ini 10 pasang," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Nonop menjelaskan proses pernikahan massal tersebut dimulai dari memanggil santri yang bersangkutan. Menurut Nonop, di pesantren tidak ada pacaran karena dinilai tabu, namun hanya sebatas kenal antarsesama santri.

Dalam prosesnya, dewan kiai berembug, lalu dipilah santri dan santriwati yang sudah dewasa. Mereka kemudian ditanya kesediannya untuk mengikuti perjodohan. Setelah itu dipanggil kedua orang tuanya dan disetujui.

"Semuanya menjawab karena sudah biasa dijodohkan oleh guru, pada akhirnya sami'na wa atho'na sangat kuat di pesantren," jelasnya.

Setelah proses itu, lalu ditentukan waktu khitbah massal dengan dipanggilnya dua pihak keluarga. Lalu ditentukan pernikahannya di pondok pesantren.

"Maksudnya untuk syiar pondok pesantren, juga meringankan pembiayaan. Di pondok acara bisa ramai dihadiri seluruh santri. Kedua, seluruh dewan guru dan kyai hadir semua turut mendoakan. Kalau di masing-masing dengan jadwal padat tidak mungkin dihadiri karena lokasinya yang jauh-jauh," katanya.

Maka untuk meringankan pembiayaan dan efektifitas waktu, jarak tempuh maka dinikahkan di pondok. Setelah selesai mengikuti pernikahan massal, pasangan itu dibawa ke rumah masing-masing sesuai kesepakatan keluarga.

"Kemudian akan dipanggil kembali dipersiapkan untuk menyebarkan ilmu yang sudah diatur jauh jauh hari," jelasnya.

Pihak Ponpes mengatakan, santri yang dijodohkan itu sudah dewasa dan sudah mengabdi lama di pondok pesantren. "Yang dijodohkan itu yang laki-laki di atas 25 tahun, yang perempuan 22 tahun, sudah dewasa. Pengabdian di pondok sudah lama, ustaz dan ustazah," ujar ujar Nonop.

Menurutnya perjodohan di pesantren mana pun adalah hal lazim. Namun bukan seperti kisah Siti Nurbaya. Semua didasarkan pada kesepakatan, bukan pemaksaan.

Nonop menjelaskan, perjodohan di pesantren ini membawa kesan tersendiri bagi para santri sebelum kembali ke masyarakat. Mereka ada kebanggaan dan merasa diurus oleh gurunya. Bahkan mereka terbantu mengingat pembiayaan pernikahan massal tersebut lebih banyak dilakukan oleh pondok.

"Kalau di rumah kan sewa Blandongan dan lainnya itu sendiri berapa itu. Juga rumah tangganya semua harmonis bisa di cek ke lapangan," jelasnya.

Nonop menyebut tradisi perjodohan dan pernikahan massal di pesantren tersebut tetap akan berlangsung menjadi agenda. "Tetap dilanjutkan karena tidak ada yang dilanggar dari hukum agama, hukum negara," jelasnya.

(sya/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads