Warga Puncak Manik yang Akrab dengan Hewan Liar

Warga Puncak Manik yang Akrab dengan Hewan Liar

Nur Azis - detikJabar
Sabtu, 07 Jan 2023 12:30 WIB
Suasana di Dusun Puncak Manik Sumedang.
Suasana di Dusun Puncak Manik Sumedang (Foto: Nur Azis/detikJabar).
Sumedang -

Puncak Manik merupakan nama salah satu dusun yang berada di Desa Cilangkap, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang. Dusun tersebut berada di Kawasan hutan di bawah kaki Gunung Tampomas yang dikenal dengan sebutan Taman Pasir.

Tinggal di kawasan hutan sudah barang tentu harus siap hidup berdampingan dengan hewan liar seperti ular, babi hutan dan hewan lainnya. Maka tidak heran, warga di sana rata-rata memiliki anjing penjaga di halaman rumahnya.

Anjing tersebut berfungsi sebagai sinyal alarm saat ada tamu asing yang datang atau hewan liar yang memasuki area permukiman warga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Didi (72), salah seorang sesepuh di sana menuturkan, Dusun Puncak Manik dulunya kerap didatangi babi hutan. Namun sudah dari sejak lima tahun ke belakang, hewan bertaring itu tidak pernah lagi memasuki area permukiman warga.

"Dulumah jangankan tanaman singkong ataupun talas, tanaman bunga saja diacak-acak oleh babi hutan, namun sudah dari sejak lima tahun lalu atau sejak banyak pemburu babi dari desa tetangga tidak pernah ada lagi babi yang masuk ke permukiman warga," ungkap Didi dengan didamping istrinya Anih (60), kepada detikjabar belum lama ini.

ADVERTISEMENT

Meski hidup di kawasan hutan, Did mengaku tidak pernah sekalipun melihat adanya seekor macan di kawasan sekitar tempat tinggalnya itu.

"Kalau macan tidak pernah melihat, tapi kalau seperti musang satu dua kali pernah terlihat, lalu ular dan monyet itu mah sudah biasa dan kalau kucing hutan itu suka terlihat sesekali," ujarnya.

Hal itu pun diamini Anih, istri dari Didi. "Kalau babi hutan dulumah memang ada bahkan kalau lagi jalan malam-malam, tiba-tiba suka dikagetkan oleh kemunculannya tapi sekarangmah sudah tidak ada lagi," ujarnya.

Anih pun sudah terbiasa hidup berdampingan dengan binatang liar.

"Kalau monyetmah sekarang juga masih suka ada, tapi hanya sampai ke samping rumah, itu pun kalau di sana terdapat pisang atau petai, munculnya biasanya sore-sore," terangnya.

Bagi Didi dan Anih, Dusun Puncak Manik merupakan tempat tinggal yang sangat nyaman untuk ditinggali.

"Kalau dihitung-hitung, ya warga sini itu tidak sengsara lah karena namanya hidup di desa, jadi istilahnya kalau lauk pauk untuk makan, kan ada lalab-laban," ujar Didi sambil tertawa ringan.

Sekadar diketahui, Dusun Puncak Manik hanya ditinggali oleh 14 Kepala Keluarga (KK) dengan 12 unit bangunan rumah. Beberapa rumah disana merupakan bangunan model lama bekas peninggalan orang tua dari warga Puncak Manik.

Nama Puncak Manik tidak terlepas dari keberadaan situs dan sebuah batu yang berbentuk segitiga mirip dengan nasi tumpeng yang diatasnya terdapat sebuah telur. Bagian telur itulah yang dikenal dengan sebutan Puncak Manik yang sekaligus menjadi cikal bakal dari nama dusun tersebut.

"Menurut seorang Kuwu terdahulu bernama Mad Enoh, disini itu katanya pernah ada situs berupa arca yang dikenal dengan nama Dewa Guru di sebelah selatan yang ditemukan pada sekitar 1950-an serta ada sebuah batu berbentuk seperti nasi tumpeng, sebagaimana diketahui bagian nasi tumpeng itu dikenal dengan sebutan Puncak Manik," ungkap Didi (72), salah seorang sesepuh di sana kepada detikjabar belum lama ini.

Didi menuturkan, situs berupa arca tersebut, keberadaannya sudah tidak diketahui dan entah siapa pula yang mengambilnya. Kini yang tersisa hanya sebuah situs yang dikenal dengan sebutan Singakerta.

Begitu pun dengan batu berbentuk nasi tumpeng yang menjadi cikal bakal dari penamaan Dusun Puncak Manik.

"Nah kalau batunya yang berbentuk tumpeng itu, katanya yang ngambilnya adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan saat itu dibawa ke kampung Lebak Naga Desa Sekarwangi atau tetangga dari Desa Cilangkap," terang Didi.

(mso/mso)


Hide Ads