Melihat Dusun Puncak Manik, Permukiman di Tengah Hutan Sumedang

Melihat Dusun Puncak Manik, Permukiman di Tengah Hutan Sumedang

Nur Azis - detikJabar
Sabtu, 07 Jan 2023 07:01 WIB
Dusun Puncak Manik.
Dusun Puncak Manik (Foto: Nur Azis/detikJabar).
Sumedang -

Seekor anjing warna hitam langsung bersiaga saat mendengar deru mesin motor yang hendak dimatikan setibanya di penghujung jalan. Satu, dua bangunan rumah pun akhirnya mulai tersingkap.

Sebelumnya, sepanjang jalan menuju perkampungan itu nyaris tidak ada orang. Jarak dari jalan utama menuju titik lokasi kurang lebih 2 kilometer.

Namun, medan jalan yang menanjak tanpa jeda, kelokan-kelokan yang diselingi lereng tebing dan jurang yang curam, membuat perjalanan seakan terasa lama untuk bisa sampai ke sebuah perkampungan yang berada di dalam hutan tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebar akses jalannya kurang dari dua meter. Setengah meter dari lebar jalan itu berupa lintasan bertembok sebagai jalur sepeda motor.

Dusun Puncak Manik.Dusun Puncak Manik (Foto: Nur Azis/detikJabar).

Tidak terbayangkan bagaimana warga di sana saat membangunnya. Pun tidak terbayangkan bagaimana warga melintasi jalanan itu saat hari sudah masuk malam atau saat sedang turun hujan. Sebab hewan liar seperti ular dipastikan masih ada.

ADVERTISEMENT

Perkampungan itu bernama Puncak Manik. Sebuah Dusun yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Desa Cilangkap, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang. Dusun itu tepatnya berada di Kaki Gunung Tampomas yang dikenal dengan nama Taman Pasir.

Menurut warga, kawasan perkampungan itu diberinya nama Puncak Manik lantaran tidak terlepas dari keberadaan situs dan sebuah batu yang berbentuk segitiga mirip dengan nasi tumpeng yang di atasnya terdapat sebuah telur. Bagian telur itulah dikenal dengan sebutan Puncak Manik.

"Menurut seorang Kuwu terdahulu bernama Mad Enoh, di sini itu katanya pernah ada situs berupa arca yang dikenal dengan nama Dewa Guru di sebelah selatan yang ditemukan pada sekitar 1950-an serta ada sebuah batu berbentuk seperti nasi tumpeng yang di atasnya dikenal dengan sebutan puncak manik," ungkap Didi (72), salah seorang sesepuh di sana kepada detikjabar belum lama ini.

Didi menuturkan, situs berupa arca tersebut, keberadaannya sudah tidak diketahui dan entah siapa pula yang mengambilnya. Kini yang tersisa di sana hanya sebuah situs yang dikenal dengan sebutan Singakerta.

Begitu pun dengan batu berbentuk nasi tumpeng yang menjadi cikal bakal dari penamaan Dusun Puncak Manik.

"Nah kalau batunya yang berbentuk tumpeng itu, katanya yang ngambilnya adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan saat itu dibawa ke kampung Lebak Naga Desa Sekarwangi atau tetanggaan dengan Desa Cilangkap," terang Didi.

Dusun Puncak Manik sendiri konon sudah ada dari sejak lama. Bahkan, dulunya banyak warga yang bertempat tinggal di sana.

"Awalnya di sini itu ada 70 rumah lalu berkurang jadi 40 rumah, kemudian pada tahun 1979 menjadi 33 unit rumah,"paparnya.

Kini, dusun tersebut diketahui hanya ditinggali oleh 14 Kepala Keluarga dengan jumlah bangunan 12 unit rumah.

"Dari 12 bangunan rumah itu, satu di antaranya tidak ditempati lagi, sementara untuk KK jumlahnya ada 14 KK," ujar Didi.

Meski hanya 12 unit rumah namun bangunannya rata-rata memiliki tipe bangunan semi permanen. Beberapa di antaranya merupakan bangunan model lama bekas peninggalan orang tua warga Puncak Manik.

Menurut Didi, bangunan yang sekarang berdiri dulunya dibangun secara gotong royong saat jumlah warganya masih banyak.

"Dulumah kalau warga mau bangun rumah, bahan bangunannya ya diangkat di atas pundaknya dari bawah sampai ke atas perkampungan dan biasanya dilakukan secara bersama-sama," terang Didi.

Selain itu, meski berada di tengah hutan namun untuk jaringan kelistrikan ternyata telah masuk ke kawasan Dusun Puncak Manik dari sejak 1997.

"Begitu pun saat akan memasang jaringan listrik, itu tiangnya oleh warga dipanggul bareng-bareng sampai ke atas. Sementara kalau jalan setapak yang ditembok itu, dibangunnya sekitar 15 tahun ke belakang," ujarnya.

Salah satu yang menjadi ciri khas dari perkampungan Puncak Manik adalah setiap warganya memiliki anjing penjaga. Maklum, dulunya kawasan itu sering jadi perlintasan hewan liar terutama babi hutan.

"Sekarang Alhamdulillah sudah sekitar 5 tahun ke belakang sudah tidak ada lagi babi hutan, tapi kalau monyet atau musang masih suka ada," terangnya.

Warga Puncak Manik rata-rata berprofesi sebagai petani atau buruh serabutan. Meski begitu, warga disana tampak bersahaja di tengah lingkungan alam pedesaan.
"Kalau dihitung-hitung, ya warga sini itu tidak sengsara lah karena namanya hidup di desa, jadi istilahnya kalau untuk lauk pauk makan kan ada lalab-laban, juga bisa," ujarnya sambil tertawa ringan.

Halaman 2 dari 2
(mso/mso)


Hide Ads