Di balik kepiawaiannya menirukan ragam suara hewan, ada kisah pilu yang dialami Sahroni Febrianto (16). Remaja asal Bandung ini ternyata punya pengalaman buruk di dunia pendidikan.
Sahroni putus sekolah saat dia duduk di bangku SD. Ayah Sahroni, Dadang Abdul Hamid (50) menceritakan bila anaknya itu mengalami tindakan bullying di sekolah hingga tak mau melanjutkan pendidikan. Menurutnya, Sahroni terakhir duduk di bangku kelas 3 SD.
"Kelas 3 SD, karena dibully, gak mau lagi sekolah. Setelah itu keluar aja sekolah. Dia jadi korban bully juga. Soalnya dia punya sakalor atau epilepsi gitu," ujar Dadang, saat ditemui detikJabar di kontrakannya, Kampung Maruyung Al Zamzam, Desa Maruyung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Minggu (25/12/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bapa pindah rumah dari Cibangoak ke desa Cikoneng, terus SD-nya pindah ke Agus Salim. Pas di Agus Salim dibuly, dijauhi anak-anak yang lain," tambahnya.
Dadang menyebutkan setelah keluar di sekolah anaknya tersebut semakin enggan berada di rumah. Anaknya tersebut kerap aktif di masyarakat.
"Kalau di rumah dia kaya yang kesel aja, apa aja dikerjain, kata dia yang penting dapat uang," katanya.
Dadang mengungkapkan cita-cita anaknya tersebut adalah hanya ingin bisa tampil di televisi. Mimpi Sahroni sempat terwujud kala diundang oleh Brownies Trans Tv pada tahun 2021 silam.
"Kalau cita-cita ya dia pengen jadi artis, terutama masuk tv, pengen dikenal banyak orang. Cuma saya selalu mengingatkan jangan banyak berkhayal. Dulu kan dia pengen masuk tv, pas udah masuk tv ke acara Brownies, ya udah lah itu udah kecapai juga," pungkasnya.
Idap Epilepsi
Dadang juga mengungkapkan kondisi anaknya. Sahroni ternyata mengidap penyakit serius. Sahroni juga kerap mengalami kejang-kejang atau epilepsi semenjak sekolah kelas 2 SD. Bahkan penyakitnya tersebut kerap kambuh jika mengalami kelelahan.
"Awalnya dari kelas 2 SD punya penyakit sakalor, semacam epilepsi lah. Langsung kena, gak ada ciri-cirinya, selepas dari sana langsung punya kelebihan suara-suara itu. Sekitar tahun 2014 lalu lah," ujar Dadang.
Dadang menuturkan anaknya tersebut sempat jatuh saat masih bersekolah. Pihaknya menduga hal tersebut yang membuatnya bisa sampai seperti ini.
"Sempat jatuh di lantai dua sekolah pas kelas 2 sd, jatuh di pohon kedongdong tingginya 8 meter. Pernah juga hanyut sekitar 10 meter lebih. Sempat patah tangan," ucapnya.
Dia mengaku sedih saat kondisi epilepsinya tengah kambuh. Namun, menurutnya saat ini masih sering melakukan pengobatan tradisional.
"Kalau lagi jadi, kekejedan, kaya yang disembelih suaranya, pas gak lama pasti keluar darah. Kalau sekarang mah jadinya kebanyakan pas di rumah, pas tidur, jarang kalau lagi di luar," bebernya.
Dadang bersama keluarga saat ini menempati kontrakan dengan ukuran 3 X 3 meter. Dengan biaya kontrakan Rp 300 ribu per bulan.
"Iya alhamdulillah bisa ngontrak di sini udah sekitar 5 bulan. Dulu saya punya rumah di Cibangoak, namun saya sakit-sakitan. Akhirnya rumah dijual dipakai berobat, terus sekarang saya ngontrak," ucap Dadang.
Dia berharap saat ini bisa menerima bantuan dari pemerintah. Pasalnya untuk kebutuhan sehari-hari dirinya tidak mampu.
"Waktu kampung sebelumnya suka dapet bantuan, sekarang mah gak pernah dapet. Ya kalau pengen mah, pengen dapet bantuan. Tapi da gimana pemerintah kan," pungkasnya.
(dir/dir)