Hampir 40 juta anak dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melewatkan setidaknya satu dosis campak pada tahun 2021. Hal itu terjadi akibat pandemi COVID-19 sehingga tingkat vaksinasi anak-anak ini alami penurunan.
Para ahli epidemiologi mengkhawatirkan penurunan tingkat vaksinasi ini. Namun ada alasan mengapa campak menjadi perhatian terbesar mereka.
Dikutip detikInet dari IFL Science, Minggu (11/12/2022) akses vaksinasi anak-anak terkait masalah logistik untuk daerah-daerah yang diberlakukan lock down, baik penutupan sebagian maupun seluruhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan setelah masyarakat memulai era 'new normal', sistem perawatan kesehatan nyatanya kewalahan dan kurang mampu mengejar para orang tua guna memastikan mereka memvaksinasi anak-anak mereka.
Kondisi ini diperburuk dengan vaksinasi menjadi 'perang budaya' di sejumlah negara, khususnya Amerika Serikat. Para anti-vaksin meningkatkan pengaruh mereka untuk mencegah para orang tua mem-vaksin anak-anak.
Konsekuensinya memang tidak akan langsung terlihat. Kemungkinan besar, dampaknya baru akan dirasakan dalam beberapa dekade mendatang, yakni dengan tingginya angka kematian dan kecacatan untuk semua penyakit.
Penyakit Campak
Profesor Matthew Ferrari Penn State University mengkhawatirkan dari semua penyakit paling menular adalah campak.
"Campak adalah salah satu virus manusia yang paling menular dan bisa sangat serius jika tidak ada sumber daya yang cukup untuk mengelola gejala," kata Ferrari.
"Campak bisa menimbulkan kematian, dan kemungkinan dampak lebih parah bisa terjadi pada anak-anak yang lebih muda," tambahnya.
Untuk penyakit yang tidak terlalu menular, kekebalan kelompok mencegah terjadinya wabah meskipun tingkat vaksinasi turun sedikit. Daya menular suatu penyakit diukur dengan angka reproduksinya (R 0), sebuah konsep yang menjadi lebih dikenal di awal pandemi COVID-19.
R 0 mengukur berapa banyak orang yang akan terinfeksi oleh individu yang menular di mana setiap orang rentan karena tidak divaksinasi atau terinfeksi sebelumnya.
Penyakit seperti Difteri, dengan R 0 sekitar 2,6 dapat dikontrol secara efektif dengan tingkat vaksinasi jauh di bawah 100%, asalkan vaksinnya efektif.
Strain yang paling menular dari varian Omicron memiliki R 0 yang serupa, tetapi mereka menyebar di lingkungan di mana kebanyakan orang telah divaksinasi, atau sebelumnya telah mengalami varian COVID-19 lainnya, atau keduanya.
Namun untuk campak, R 0-nya adalah sekitar 15. Ketika menyebar pada populasi yang belum divaksinasi dan belum pernah mengalami wabah sebelumnya, campak menyebar seperti api.
Seperti diketahui, kematian karena campak angkanya bekum diketahui, sebagian besar kematian terjadi di tempat-tempat di mana pelaporan tidak memadai. Menurut Ferrari memasukkan informasi yang mereka miliki ke dalam model yang dia buat dan memperkirakan 9 juta orang terinfeksi campak pada tahun 2021, menyebabkan 128 ribu kematian. Dia memperkirakan jumlahnya akan meningkat tahun ini.
"Kebanyakan anak (lebih dari 80%) akan terlindungi dengan dosis pertama. Dosis kedua sangat penting untuk mengejar anak-anak yang tidak terlindungi dengan dosis pertama," terangnya.
Campak juga memiliki sifat buruk yang tidak dimiliki oleh kebanyakan penyakit lain, yakni mengganggu sistem kekebalan tubuh sehingga orang kehilangan daya tahan terhadap penyakit yang pernah mereka derita sebelumnya.
Dari sejumlah kasus campak, hal ini dapat menjadi faktor risiko yang sama kuatnya dengan mengonsumsi obat imunosupresif. Kondisi yang disebut 'amnesia imunologis' ini baru ditemukan pada tahun 2019, jadi skalanya tidak dipelajari dengan baik, tetapi mungkin menambah kematian tambahan pada campak secara lebih langsung.
Artikel ini sudah tayang di detikInet, baca selengkapnya di sini.
(wip/mso)