Peristiwa kelam nan tragis harus dilalui bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Gempuran tiada henti saat Agresi Militer Belanda II tidak mematahkan semangat para pejuang guna lepas dari cengkeraman penjajah.
Agresi Militer Belanda II atau dikenal Operatie Kraai alias Operasi Gagak, berlangsung dari tanggal 19-20 Desember 1948. Mulanya gerakan militer tersebut terjadi di Yogyakarta yang saat itu menjadi pusat pemerintahan sementara Indonesia. Serangan itu kemudian meluas ke beberapa daerah, tak terkecuali Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Di Kuningan gejolak perlawanan terhadap serdadu Belanda yang mendompleng kekuatan sekutu terus bermunculan. Meski dari segi peralatan militer kalah jauh, namun berkat kecerdikan para gerilyawan kemerdekaan republik ini masih tetap bertahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada masa itu wilayah Karesidenan Cirebon telah diduduki. Bahkan lokasi strategis di Kuningan ikut dikuasai oleh pasukan Belanda. Sehingga memaksa para pejuang masuk ke hutan-hutan pedalaman untuk bersembunyi.
Jumlah pasukan yang banyak membuat aktivitas patroli tentara Belanda semakin mudah. Kala itu setiap personel di tempatkan di beberapa wilayah untuk menyisir dan mencari para pejuang yang bersembunyi.
"Kalau di Kuningan jelas Kota Kuningan, kalau daerah Cilimus yang mana itu jadi jalur perlintasan. Ke arah timurnya sampai ke Luragung. Kalaupun ada ke Cibingbin, itu hanya patroli sekalian ke Ciwaru," kata Dosen Sejarah IAIN Syekh Nurjati Cirebon Tendi kepada detikJabar, Senin (5/12/2022) sore.
![]() |
Hutan belantara yang ada di Kabupaten Kuningan menjadi lokasi yang pas untuk melakukan perlawanan. Tak hanya bersembunyi, para pejuang pun terkadang menyerang balik tentara Belanda dengan strategi hit and run (gerilya).
Setelah berhasil menyerang, mereka akan kembali masuk ke hutan atau sekedar bersembunyi di balik rumah-rumah warga. "Tapi yang jelas, pusat kota di Kuningan atau Kawedanan itu pusat-pusatnya orang Belanda," ujar Tendi.
Lokasi geografis Kabupaten Kuningan sedikit menguntungkan pihak pejuang. Sebab, beberapa daerah pedalaman menjadi basis utama kekuatan militer mereka.
Tendi mencontohkan, daerah Ciwaru sempat dijadikan sebagai Ibukota Karesidenan Cirebon. Wilayah ini dianggap paling aman untuk melakukan aktivitas bagi para pegawai pemerintah yang mendukung kedaulatan Indonesia dipertahankan.
"Lalu untuk beberapa divisi dari tentara, ada yang memusatkan kekuatan di daerah Subang, Kuningan. Kadangkala melakukan perjalanan ke wilayah Brebes dan Cibingbin," paparnya.
Peristiwa Berdarah di Kuningan
Aktivitas patroli yang dilakukan tentara Belanda bukannya tidak membuahkan hasil. Justru berkat kelengkapan persenjataan dan jumlah personel, pihak penjajah berhasil membombardir pejuang Indonesia di Kabupaten Kuningan.
Peristiwa berdarah itu terjadi di daerah Cibingbin. Dari penuturan Tendi, para pejuang gugur dalam insiden tersebut.
"Jadi saat itu ada aktivitas patroli Belanda dari Cibingbin ke wilayah Brebes. Ternyata ada yang dicurigai dari tentara pejuang, akhirnya dikejar lalu terjadilah baku tembak," ungkapnya.
Pada saat itu, para pejuang tidak memiliki peralatan yang memadai. Hal ini justru berbanding terbalik dengan serdadu Belanda yang membawa perlengkapan militer cukup mumpuni.
Akibat perbedaan kekuatan yang terlampau jauh, para pejuang itu meregang nyawa setelah diserang pasukan Belanda.
"Tentara Belanda waktu itu mendapatkan sokongan dari wilayah Brebes, Kuningan, dan Cirebon. Secara teknologi militer dan pasukan mereka kalah, akhirnya terjadi pembantaian," ucap dia.
(orb/yum)