Belanda punya andil merancang dan memantaskan tata letak bangunan yang ada di Cimahi. Sebab dulu, Cimahi merupakan Garnisun bagi militer Belanda saat mengkoloni Hindia Belanda.
Banyak sekali bangunan berarsitektur Belanda yang berdiri di Cimahi, bertahan sejak dulu dan masih kokoh. Seperti Rumah Sakit Dustira yang dulu merupakan rumah sakit militer bagi prajurit Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).
Sebagai Garnisun, Cimahi dulu diduduki sekitar lima batalyon atau berkisar lima ribuan tentara. Maka tak heran jika Cimahi saat ini dijuluki 'Kota Militer' atau 'Kota Hijau' karena banyaknya pusat pendidikan militer dan markas TNI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pegiat sejarah Cimahi sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Cimahi, Mahmud Mubarok mengatakan sejak zaman Hindia Belanda, Cimahi sudah digagas menjadi Garnisun.
"Sejak zaman Hindia Belanda Cimahi sudah dikenal sebagai kota militer. Jadi ketika Cimahi ditetapkan sebagai garnisun itu ada sekitar 4 batalyon atau sekitar 4 ribu sampai 5 ribu tentara yang kemudian tinggal di Cimahi," ungkap Mahmud kepada detikJabar.
"Dari situ juga, kemudian menjadikan Cimahi sebagai kota dengan jumlah tentara terbesar di Hindia Belanda (sebutan Indonesia zaman dulu)," lanjut Mahmud.
Banyaknya prajurit yang tinggal di Cimahi, dibarengi dengan pembangunan kawasan tempat tinggal perwira tentara Belanda mulai dari pangkat tinggi sampai terendah. Tempat tinggal mereka dipisah per kawasan.
"Sebetulnya ya karena memang prajurit itu perlu tempat tinggal, apalagi perwira-perwiranya ya. Akhirnya dibuatlah kawasan tempat tinggal, per kawasan tidak menyatu," ucap Mahmud.
Misalnya di sepanjang Jalan Gedung Empat, Cimahi, berderet rumah-rumah dinas dengan adopsi arsitektur indische empire khas abad 19. Dulu rumah itu digunakan untuk prajurit KNIL dengan pangkat perwira tinggi.
Sementara di sepanjang Jalan Sriwijaya, dikenal dengan kawasan Gedung Lima. Deretan rumah yang membentang sejak Taman Segitiga Sriwijaya sampai di depan Stasiun Cimahi itu juga merupakan rumah dinas bagi perwira tinggi tentara Belanda.
Kawasan lain yang merupakan tempat tinggal perwira tinggi Belanda yakni du sepanjang Jalan Baros. Terlebih di kawasan itu terdapat Gereja Santo Ignatius, yang juga dibangun untuk menunjang peribadatan tentara Belanda di Cimahi.
"Ada semacam tingkatan, kita itu bisa melihat dari nomor rumah sebenarnya, ada yang A, ada yang B, dan C. Nomor rumah itu sebetulnya kode, yang saya ketahui seperti A,B,C,D itu rumah-rumah yang diperuntukan untuk perwira tinggi, sementara E,F itu perwira menengah," kata Mahmud.
"Seperti di Gedung Empat itu berawalan A, artinya untuk perwira tinggi semua. Jadi dari dari kolonel ke atas yang menempati itu. Ada aturan dan penempatan, jadi tidak sembarang rumah bisa dihuni," lanjut Mahmud.
Sementara untuk rumah dengan nomor berawalan F, diperuntukkan bagi tentara yang pangkatnya setingkat di bawah perwira tinggi. Misalnya dihuni oleh tentara dengan pangkat mayor maupun letnan.
"Kalau rumah F untuk letnan dan mayor itu biasanya rumahnya memiliki bentuk atap yang dipakai untuk dua rumah tingkatan letnan atau kapten biasanya. Jadi terlihat jika ada rumah berpasangan atapnya biasanya untuk perwira pertama letnan sampai kapten," ujar Mahmud.
Sarana Hiburan Tentara Belanda
Tentara Belanda yang bertugas di Cimahi tak luput dari rasa bosan. Mereka butuh hiburan demi melepas lelah dan penat dari tuntutan pekerjaan di masa kolonialisme.
Salah satu tempat hiburan dan berkumpulnya tentara Belanda yakni Gedung Historich. Gedung yang dibangun tahun 1895 itu sebetulnya memiliki nama Sociѐteit voor Officieren. Namun kemudian berganti nama berkali-kali sampai saat ini dikenal dengan nama Gedung Historich usah disewa pengusaha asal Kota Bandung.
Dahulu gedung tersebut kerap digunakan sebagai tempat berkumpul dan hiburan, khususnya bagi para tentara-tentara Belanda yang punya jabatan.
"Jadi gedung itu memang difungsikan sebagai tempat hiburan para petinggi tentara Belanda. Kalau jabatannya kopral atau sersan bukan di situ tempatnya," ujar Mahmud.
"Setelah lelah bertempur atau latihan, maka mereka pergi hiburan ke gedung itu. Di sana ada tempat teater, dansa, pertunjukkan film, dan sebagainya," ujar Machmud menambahkan.
Dari segi arsitektur, gedung Historich mengadopsi gaya indische empire stijl. Gaya arsitektur itu dipengaruhi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels.
"Sisi arsitektur ini memang menarik, karena satu-satunya saya kira di Cimahi yang menggunakan gaya indische empire stijl. Jadi, gaya arsitektur warisan Daendels. Daendels itu kan bangga betul dengan kemewahan dan kemegahan," kata Mahmud.
Sarana pelepas penat para tentara Belanda terutama yang memiliki pangkat, biasanya mereka memiliki gundik. Seperti di Cimahi, ada kisah seorang wanita bernama Nyai Itih, yang kemudian menjadi gundik seorang Belanda bernama Willem Walraven.
"Karena Cimahi jadi pusat militer, kebetulan banyak tentara Belanda itu tidak membawa istri mereka, jadi sudah biasa dulu orang pribumi termasuk Cimahi ini yang asalnya babu diambil jadi gundik atau nyai-nyai," ujar Mahmud.
Saat itu Itih merupakan seorang gadis asal Cigugur Tengah, Cimahi, yang bertemu dengan Walraven. Dari pertemuan itu tumbuh benih-benih cinta dari sang meneer. Walraven tak mau kehilangan momentum, sampai akhirnya ia memutuskan menjadikan Itih sebagai gundiknya.
"Akhirnya Itih jadi gundik, dengan penyematan nyai atau nyi di depannya. Padahal dulu pandangan orang Belanda sebetulnya hina karena memiliki gundik, dengan alasan tidak sederajat atau alasan lainnya. Tapi Willem ini nggak peduli, karena saking cintanya kemudian Itih dibawa ke Belanda. Kalau tidak salah seperti itu," tutur Mahmud.