Sarah Kumala Dewi begitu lantang menyuarakan hak disabilitas saat peringatan Hari Disabilitas Internasional yang digagas Komunitas Disabilitas dan Lansia (Dilans) Indonesia, di Cikapundung river Spot Bandung. Perempuan asal Ujung Berung itu mengkritik kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada disabilitas.
Awalnya, Sarah Kumala Dewi menyoroti soal Peraturan Wali Kota (Perwal) Bandung terkait disabilitas. Perempuan yang akrab disapa Lala itu menilai isi perwal belum begitu berpihak pada disabilitas secara menyeluruh, sebut saja dalam soal akses disabilitas di tempat ibadah.
"Soal rumah ibadah, itu hanya menyinggung soal masjid. Rumah ibadah yang lain bagaimana, karena banyak gereja-gereja yang juga ada tangganya. Dan, rumah ibadah lain juga harus jadi perhatian," kata perempuan berkerudung ungu itu saat menyampaikan aspirasinya di hadapan para pembicara, Sabtu (3/12/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lala merupakan ibu dari anak berkebutuhan khusus (ABK) berat. Anak pertama Lala, Alanis yang berusia 12 tahun mengalami kelumpuhan otak atau cerebral palsy. Lala saban hari mengurus anaknya dan memperjuangkan hak disabilitas. Ia aktif dalam Forum Keluarga Difabel binaan Dinas Sosial (Dinsos).
Lala dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional itu juga mendesak agar Pemkot Bandung bisa memperhatikan akses disabilitas di masjid, khususnya Masjid Raya Bandung. Ia menyoroti soal penggunaan kursi roda disabilitas.
"Katanya kursi roda ini kan banyak najisnya, tidak bisa masuk masjid kan. Tapi, kami juga punya hak untuk beribadah. Kalau dianggap najis, ya sediakan dong buat disabilitas kursi roda yang suci," ucap Lala.
Usai mengkritik akses di rumah ibadah, Lala juga menceritakan kesulitannya saat mengantar anaknya terapi. Kendaraan umum di Kota Bandung saat ini masih jauh dari kata ramah disabilitas. Lala kerap kerepotan.
"Saya kalau fisioterapi naik angkot, itu sulit. Ada juga bus Damri yang ramah disabilitas, itu pun hanya tiga unit. Dan, harus menunggu lama. Sedangkan terapi kan terjadwal," ucap Lala.
Lebih lanjut, perempuan tiga anak itu menilai pelayanan di rumah sakit juga belum ramah. Disabilitas kerap mendapatkan pelayanan yang sama karena menggunakan BPJS. Antrean yang lama membuat terapi tak berjalan efektif.
"Malas antre. Jadi kita ke klinik swasta. Nggak semua anak disabilitas itu tajir," kata Lala.
Kritik Lala tak berhenti di situ, ia juga menilai banyak kebijakan yang keliru. Pemerintah melalui Dinsos, menurut Lala, menganggap disabilitas sebagai orang yang harus dikasihani. Padahal, lanjut dia, teman-teman disabilitas hanya ingin dihargai dan mendapatkan hak yang sama.
"Kalau di Dinsos kesannya itu bantuan, bahkan kita disamakan dengan fakir miskin, gelandangan, anak punk dan lainnya. Bantuan sembako, sembako mulu. Kami tidak ingin, kami ingin dihargai," ucapnya.
Lala bersama kawan-kawannya mengoreksi soal isi perwal. Ia mendorong agar adanya revisi ada perubahan dari isi perwal tersebut.
"Harusnya, dalam pembuatan perwal itu melibatkan kawan-kawan disabilitas," ucap perempuan yang saat ini sedang merintis yayasan keluarga difabel.
Awal Perjuangan
Yayasan yang tengah dirintis Lala itu belum memiliki nama. Lala punya mimpi agar masyarakat dan pemerintah bisa memahami hak disabilitas. Selama ini, ia mengaku kerap melihat praktik-praktik di kehidupan masyarakat yang mendiskriminasi disabilitas.
"Ada ibu hamil, lihat anak yang berkebutuhan khusus langsung elus-elus perut. Harusnya ini tidak terjadi," kata Lala.
Lala sejatinya sempat mengalami pergulatan batin saat anak pertamanya, Alanis mengalami kelumpuhan otak. Ia sempat menolak kenyataan bahwa anaknya cerebal palsy. Perlahan Lala bangkit. Hari demi hari ia renungi apa yang dialami anaknya.
"Akhirnya, saya bisa menerima anak saya sepenuh hati. Itu prosesnya setahun," tutur Lala.
Lala punya cara tersendiri untuk bisa menerima pemberian Tuhan. Ia memilih untuk rajin membawa anaknya ke luar rumah. Hal ini dilakukan sebagai obat dalam hidupnya.
"Saya harus rajin bawa anak keluar. Jadi, sekarang sudah biasa saja. Saya ingin memberitahu atau mengedukasi masyarakat melalui ini," tutur Lala.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Bandung Tedy Rusmawan mengaku banyak menerima masukan dari kawan-kawan disabilitas, seperti peranan Dinsos dan akses di fasilitas publik untuk disabilitas.
"Soal perwal memang masih banyak yang harus disempurnakan. Regulasi ini sangat penting, kami pasti akan kritisi juga dan sampaikan ke eksekutif," kata Tedy di Cikapundung River Spot.
Lebih lanjut, Tedy mendorong agar Pemkot Bandung punya road map tentang pembangunan infrastruktur yang ramah disabilitas, dari mulai trotoar hingga akses di rumah ibadah. Ia mendesak pemkot agar bisa menciptakan Bandung yang ramah disabilitas.
(tey/tey)