Nyai, sebuah sebutan yang lazim disematkan pada seorang perempuan khususnya yang berasal dari tanah Sunda. Namun pada zaman kolonial, pemaknaan sebutan Nyai juga punya konotasi yang tak terlalu baik.
Dibuktikan dengan penjelasan sebutan Nyai di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Nyai n 1 panggilan untuk orang perempuan yang belum atau sudah kawin; 2 panggilan untuk orang perempuan yang usianya lebih tua daripada orang yang memanggil; 3 gundik orang asing (terutama orang Eropa);
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu sebutan nyai namun dengan pengulangan di KBBI, nyai-nyai n sebutan kepada wanita simpanan orang asing.
Dalam buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay, sang penulis mengatakan istilah Nyai yang digunakan berasal dari bahasa Bali. Kata itu muncul bertepatan dengan momentum perempuan Bali yang juga menjadi gundik atau perempuan simpanan dari orang-orang Eropa.
Sang nyai dikabarkan akan ditinggalkan oleh orang asing begitu mereka kembali pulang. Namun, dalam beberapa kasus ada orang asing yang benar-benar jatuh hati hingga membawa sang nyai ke tanah kelahirannya.
Ada beberapa nama tokoh perempuan zaman dulu yang disematkan sebutan nyai di depannya, seperti Nyai Saritem, Nyai Ameri dan di Cimahi ada Nyai Itih. Lalu bagaimana sejarah mencatat kisah mereka ?
Simak kisah para nyai di Jawa Barat yang pikat hati Belanda di halaman selanjutnya
Nyai Itih dari Cimahi yang Buat Meneer Belanda Tergila-gila
Foto: Sumber foto: Ronny Mediana, delpher.nl, Soekabumi Heritage, Olah visual: Yudha Maulana
|
Salah satunya sejarah mengenai Itih. Sebuah nama yang asing, terdengar kampungan dan tidak modern. Namun Itih jadi saksi bisu bagaimana kaum perempuan zaman dulu amat menderita karena perlakuan orang Belanda yang menjejakkan kaki di tanah Indonesia.
Itih merupakan nama seorang perempuan yang diketahui merupakan warga Cigugur Tengah, Kota Cimahi. Berdasarkan sumber jurnal STEKOM , ia lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1969.
Lantas apa yang menarik dari sosok Itih? Itih ternyata merupakan seorang gundik. Merujuk pada penjelasan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, gundik adalah istri tidak resmi; selir; 2 perempuan piaraan (bini gelap).
Pada tahun 1919, Itih dipilih oleh seorang pria Belanda bernama Wilem Walraven sebagai gundik. Pria kelahiran 1887 itu datang ke Indonesia (dulu Hindia-Belanda) secara sukarela setelah bergabung dengan Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) dan bertolak ke Indonesia pada tahun 1915.
Bertahun-tahun tinggal di Indonesia dan melakoni berbagai profesi, sampai akhirnya ia menjadi seorang pengarang dan wartawan majalah Belanda. Ia menggunakan nama samaran Maarten Cornelis, yang juga disingkatnya sebagai MC.
Sementara dari cerita yang ditulis oleh Arie Brand, dalam sudut pandang Wilem Walraven, ia pertama kali melihat Itih sekitar tahun 1916.
Ia melihat Itih di warung tentara pamannya di Cimahi. Gubuk bambu ini berdiri di halaman sempit tak beraspal dari sebuah toko jompo tempat seorang Afrika tinggal dengan banyak anak.
"Saya datang ke sana hampir setiap hari dan Itih hampir selalu ada. Saya tidak dapat berbicara dengannya karena saya hanya tahu sedikit bahasa Melayu dan bahkan bahasa Sunda," tulis Arie.
Dalam tulisannya yang cukup panjang, ada satu penjelasan yang singkat, menyebutkan jika Walraven dan Itih akhirnya tinggal bersama di Banyuwangi. Di situ juga anak pertama mereka lahir. Saat itu Walraven sudah berusia sekitar 30 tahunan sementara Itih berusia sekitar 20 tahunan.
Pegiat sejarah Cimahi, Machmud Mubarok, berkisah jika Itih menjadi gundik tak lepas dari posisi Cimahi yang pada masa penjajahan Belanda menjadi pusat kegiatan militer. Buktinya masih berdiri hingga tahun 2022, yakni banyaknya pusat pendidikan tentara, markas, hingga bangunan berarsitektur Belanda yang difungsikan sebagai kantor militer.
"Jadi kebetulan dulu itu Cimahi jadi pusat militer. Kebetulan banyak tentara Belanda itu tidak membawa istri mereka, jadi sudah biasa dulu orang pribumi termasuk Cimahi ini yang asalnya babu diambil jadi gundik atau nyai-nyai," ujar Machmud kepada detikJabar, Sabtu (19/11/2022).
Saat itu Itih merupakan seorang gadis asal Cigugur Tengah, Cimahi, yang bertemu dengan Walraven. Dari pertemuan itu tumbuh benih-benih cinta dari sang meneer. Walraven tak mau kehilangan momentum, sampai akhirnya ia memutuskan menjadikan Itih sebagai gundiknya.
"Akhirnya Itih jadi gundik, dengan penyematan nyai atau nyi di depannya. Padahal dulu pandangan orang Belanda sebetulnya hina karena memiliki gundik, dengan alasan tidak sederajat atau alasan lainnya. Tapi Wilem ini nggak peduli, karena saking cintanya kemudian Itih dibawa ke Belanda. Kalau tidak salah seperti itu," ujar Machmud.
Padahal lazimnya, gundik meneer Belanda bakal ditinggalkan termasuk tak punya hak untuk mengasuh anak yang dilahirkan. Namun berbeda dengan yang dialami Itih, karena ia diboyong oleh Walraven ke tanah kelahirannya beserta anak-anak yang dilahirkan Itih.
"Jadi anak-anak itu tidak diakui, kecuali atas persetujuan pengadilan dan si ibunya itu tidak memiliki hak pengasuhan. Jadi banyak kejadian, nyai-nyai itu hanya untuk mengurus rumah, hamil, melahirkan, lalu ditinggal. Nah anaknya dibawa bapaknya ke Belanda," kata Machmud.
"Kalau Nyi Itih ini agak unik. Karena suaminya (Walraven) cinta banget sama dia, ya akhirnya Nyi Itih kemudian dibawa ke Belanda," imbuhnya.
![]() |
Sayangnya, kata Machmud, ia tak punya referensi lebih banyak mengenai garis keturunan Itih dan jejak sejarah Itih yang masih tertinggal di Cimahi.
"Setahu saya sampai sekarang nggak ada jejak Nyi Itih di Cigugur Tengah, garis keturunannya siapa juga nggak tahu. Ya itu tadi, karena anak pribumi dari Wilem kan nggak ada. Lalu apakah dia (Nyi Itih) punya saudara atau tidak kan kita nggak tahu juga sebetulnya," ucap Machmud.
Sosok Kontroversial Nyai Saritem, Sang Kembang Dayang Bandung
Potret Nyonya Jawa milik Ronny Mediono yang diyakini sebagai Nyai Saritem, Rabu (28/9/2022). (Foto: Ria Aldila Putri/detikJateng)
|
Saritem kabarnya telah ada sejak tahun 1838 dimana saat itu Bandung baru berusia 28 tahun. Hal itu diungkapkan Ariyono Wahyu Widjajadi, pegiat Komunitas Aleut Bandung yang mengutip buku berjudul Saritem Uncensored karya Wakhudin.
"Itu tuh sebenarnya sejarahnya enggak ada, fakta yang sebenarnya hanya dugaan aja. Saya ngutip satu buku, judulnya Saritem Uncensored. Dia juga bilang sejarahnya belum jelas juga," kata pria yang akrab disapa Alex ini.
"Tapi ada sumber di buku itu, Saritem mulai tahun 1838, berarti kan Bandung baru umurnya sejak dipindahkan berdasarkan surat perintah Gubernur Deandels 1810, berarti baru 28 tahun," ujarnya.
Menurut Alex, Saritem lahir dari fenomena bernama gundik. Gundik merupakan sebutan bagi aktivitas dimana perempuan dan tentara Belanda hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.
Namun ada satu sosok perempuan yang kemudian kerap dikaitkan dengan eks lokalisasi itu. Perempuan itu yakni Nyai Sari Iteung atau dikenal dengan Nyai Saritem.
Dari keterangan di buku Saritem Uncensored, Alex mengungkapkan Saritem merupakan sosok gadis belia yang jika dilihat dari karakter namanya, kemungkinan berasal dari Jawa Tengah maupun Yogyakarta.
Saritem digambarkan memiliki paras cantik dan mempesona. Sosok Saritem itulah yang kemudian memikat hari tentara Belanda hingga Saritem dijadikan gundik saat itu.
Sejak saat itu, Saritem kemudian diminta oleh tentara Belanda lainnya untuk mencari perempuan lain. Tidak hanya dari Bandung, perempuan yang menjadi gundik militer Belanda juga berasal dari daerah lain seperti Sumedang dan Indramayu.
"Jadi Nyai di tangsi militer ini kemudian diminta carikan perempuan, ceritanya begitu akhirnya menyanggupi Nyai ini mencarikan perempuan untuk personel militer di Gardu Jati ini. Akhirnya dicari dari berbagai daerah seperti Sumedang dan Indramayu," ungkapnya.
![]() |
Lambat laun, perempuan yang dikumpulkan Saritem bertambah banyak. Fenomena gundik pun bergeser ke arah lokalisasi. Sebab di kawasan tersebut, warga juga kemudian menjalani bisnis yang sama yakni menyediakan jasa perempuan untuk kencan.
"Kemudian katanya di pangsi jni difasilitasi rumah besar untuk kegiatan ini dan banyak orang datang untuk mencari perempuan. Ini berlangsung lama dan akhirnya penduduk sekitar mengikuti juga dengan membuka usaha yang serupa," ujar Alex.
Versi berbeda disampaikan oleh Budayawan Bandung, Budi Dalton. Ia menyebut sebenarnya Nyai Saritem memiliki nama asli Nyi Mas Ayu Permatasari. Kesan soal Nyai Saritem, ujar Budi, jauh dari pandangan negatif publik, justru Saritem berjuang menyelamatkan wanita tuna susila itu dari cengkeraman mucikari.
Ia menyebut, Nyi Mas Ayu Permatasari merupakan istri dari seorang Belanda dan tinggal di daerah Kebon Tangkil Bandung, daerah sekitar eks lokalisasi Saritem sekarang. Budi menyebut, Nyai Saritem merupakan wanita yang terhormat.
"Pelacur dari tahun 30-an suka ada di situ, pelacur itu ikut kerja di ibu itu. Tapi pelacur itu saat nyuci suka curhat, 'saya tuh sebetulnya tidak mau bekerja di sini, tapi si germo itu bilang ke ibu saya kerja dimana, tahunya di mana," tutur Budi dalam THE SOLEH SOLIHUN INTERVIEW: BUDI DALTON yang tayang di Youtube 13 Januari 2020.
Nyi Mas Ayu Permatasari, tutur Budi, kemudian menanyakan kepada pada kupu-kupu malam tersebut, apakah mau berhenti bekerja sebagai pelacur. Tentu saja, mereka berkeinginan untuk berhenti dari dunia kelam tersebut.
"Jadi si ibu (Nyi Mas Ayu Permatasari) ini sama kaya orang tua zaman dulu, suka ngajampean (jampi-jampi), jadi dijampean, didoakan sehingga cewek-cewek itu tidak laku, sehingga dipulangkan oleh si germo, nah ibu itu yang suka murulukan teh (mantra)," kata Budi.
Sebagai bentuk penghargaan, kata Budi, nama Saritem pun diabadikan dalam bentuk jalan. Jalan Saritem bisa diakses melalui Jl Gardujati dari arah Pasirkaliki, atau lewat Jalan Kelenteng bila mengarah dari Jalan Sudirman atau Alun-alun Kota Bandung.
"Sehingga namanya dijadikan nama jalan karena beliau itu banyak jasanya, kan tidak mungkin nama cewek enggak bener dijadikan nama jalan, dijadikan nama jalan juga pasti karena dia pelaku sejarah gitu atau pejuang, tapi ini penelitian belum selesai," ujar Budi.
Ia mengatakan, peneliti Nyai Saritem menemukan anak-anak dari Nyi Mas Ayu Permatasari di Belanda. Saat ini, kondisi kedua anaknya disebut Budi telah lansia.
"Ditemukan tapi sudah tua-tua, sehingga sekarang masih coba kita kontak, untuk bisa memaparkan siapa dia, siapa itu dia, jasanya itu benar, karena ini sudah penelitian lama, yang belum itu tentang pendalaman beliau tentang hal-hal yang tidak diketahui sejak mereka pindah ke Belanda," katanya.
Budi mengatakan, Saritem lahir di Parakanmuncang Sumedang 1840 dan meninggal di Bandung 1920. Budi pun meyakini bahwa foto wanita ayu berkebaya yang beredar di internet adalah benar Nyai Saritem atau Nyi Mas Ayu Permatasari.
"Ada beberapa foto, dan peneliti meyakini bahwa foto itu merupakan Nyai Saritem," katanya. Saat ini lokalisasi Saritem telah ditutup sejak 18 April 2007 lalu. Di sana pun berdiri pesantren Darruttaubah yang menjadi warna baru di Kebon Tangkil eks lokalisasi Saritem.
Betulkah Itu Sosok Nyai Saritem ?
Soal potret wajah Nyi Mas Ayu Permatasari atau Nyai Saritem yang beredar di internet itu sebenarnya masih diragukan. detikJabar pun melakukan penelusuran digital terkait foto tersebut di internet dengan metode reverse image, setelah dilacak dan diurutkan sesuai tanggal, foto tersebut pertama kali muncul di blog Kedai Barang Antik (https://kedaibarangantik.blogspot.com) pada 11 Januari 2011.
Foto itu diberi judul Potret Nyonya Djawa, sang pemilik blog memberikan gambaran singkat tentang foto tersebut.
"Ini foto klasik. Asli orang Indonesia. Tak sekedar pajangan, foto antik ini menyimpan banyak cerita tentang budaya dan kebiasaan adat Jawa. Sebuah pose berani untuk wanita Jawa tradisional. Ayu tenan !!," tulis admin Kedai Barang Antik.
Setelah ditelusuri, rupanya blog itu dimiliki oleh kolektor benda antik asal Ungaran, Semarang. Sang kolektor itu juga menceritakan awal mula penemuan foto saat memborong barang bekas di sebuah rumah eks pejabat kolonial tempo dulu di Yogyakarta.
Ronny, kolektor itu akrab disapa, menemukan foto yang disebut-sebut sebagai Nyai Saritem 11 tahun silam, walau demikian ia tidak mengetahui siapa sosok wanita tersebut selain parasnya yang cantik. Foto cetakan lama itu berukuran post card atau memiliki dimensi kurang lebih 13,5 cm x 8,5 cm.
"Waktu itu kita hunting di Yogyakarta kayak di rumah tangga gitu, kalau tidak salah yang memiliki rumah itu pensiunan militer atau kejaksaan, terus pensiunan itu menjual perabotnya karena mereka mau pindahan anak-anaknya," ujar Ronny kepada detikJabar, 18 September 2022.
"Saya borong perabotannya kursi-kursi Belanda, ada beberapa lukisan, lukisan wanita Jawa juga, terus sama batik tulis, dan di sana ada beberapa foto yang dipajang, termasuk foto yang ini (yang disebut Nyai Saritem)," katanya menambahkan.
Ronny sendiri tidak mengetahui potret wanita itu sebenarnya, sebab pihak yang dipercaya untuk mengurus rumah eks pejabat itu juga tidak mengetahui sosok wanita Jawa itu. Tetapi, bila dilihat dari pakaian dan aksesoris yang dipakai wanita cukup jelas bahwa wanita itu bukan berasal dari kelas proletar.
![]() |
"Kalau dilihat dari kelengkapan aksesoris perhiasan yang dikenakan (kalung, giwang dan bross) sepertinya kok background priyayi Jawa," tutur Ronny.
Bingkai kayu potret wanita Jawa itu, kata Ronny, sudah rusak akibat gigitan tikus saat pertama kali ia temukan. Namun lembaran foto di dalamnya masih bisa ia selamatkan. Lantas, ia memberikan bingkai baru pada potret tersebut dan kini tersimpan di galeri barang antiknya di Ungaran, Semarang.
"Saya lihat itu cetakan lama, merk Agfa Photo itu yang dulu populer sebelum Jepang ke sini tahun 60-an," katanya.
Pada tahun yang sama, Ronny juga mengunggah foto tersebut di internet, tepatnya pada blog Kedai Barang Antik Ia pun turut mengomentari konten di internet yang kerap menghubung-hubungkan sosok perempuan tersebut dengan Nyai Saritem.
"Sejauh ini saya juga belum memiliki data terkait sosok tersebut, saya tidak berani menyebut wanita itu," ujarnya.
Dilihat detikJabar, foto itu merupakan cetakan foto autentik karena di belakang foto terdapat watermark dari produsen pencetak foto Agfa. "Kemudian saya post, sekarang barangnya masih ada di galeri saya," katanya.
Ameri, Nyai Sukabumi yang Pikat Hati Meneer Meski Mata Buta Sebelah
Nyai Ameri dari Sukabumi (Soekabumi Heritage)
|
Kisah itu terdapat dalam babad sejarah sejak era kolonial dulu, salah satunya dari Sukabumi, kisah tentang Ameri gadis Sunda yang membuat Meneer atau tuan dari Belanda jatuh hati setengah mati dan mempersunting gadis itu hingga akhir hayatnya.
"Ameri adalah puteri seorang tukang rebab dari Parakansalak yang dinikahi oleh tuannya dan dijadikan istri resmi. Sang Meneer atau tuan yang tergila-gila pada Ameri bernama Willem Theodore Boreel, pria keturununan Belanda yang lahir di Sukabumi pada 1865," kata Irman Firmansyah, penulis buku Soekaboemi The Untold Story, kepada detikJabar, Senin (21/11/2022). Irman juga menyebut pada cerita lain, Boreel diceritakan lahir di Payakumbuh.
Dikisahkan, Boorel adalah administrator Parakansalak yang tergila-gila oleh Ameri yang secara fisik buta sebelah. Selain karena kecantikannya, juga karena ketangakasannya berkuda dan juga sikap santun dan melayani.
"Meskipun ada kekurangan fisik, sang Meneer itu kepincut dengan sikap Ameri. Orang tua Ameri sendiri adalah pemain rebab salah satu alat yang diikutkan dalam pameran bersama gamelan Sari Oneng di Amerika Serikat," ujar Irman.
Irman mengisahkan, Ameri yang merupakan nama sejak lahir juga memiliki nama lain yakni Iyi Endah meskipun nama Ameri kemudian berubah karena pelafalan masa kecil karena rasa gemas menjadi Iyi, sehingga pada akhirnya nama yang disandangnya menjadi Iyi Endah.
"Sewaktu lahir Ameri memiliki sepasang mata yang normal, namun pada suatu ketika sebelah matanya terasa gatal dan terus berair berair, lama-lama matanya sakit dan tiba-tiba kehilangan penglihatan sebelah. Meski matanya tidak sempurna ia tetap bermain seperti biasa, dia sering ikut latihan gamelan bahkan sering ikut dalam kegiatan ekstrim bersama ayahnya yaitu berburu Banteng," tutur Irman.
Kisah perburuan inilah yang kemudian melatari pertemuan antara Ameri dan Boreel. Boreel sendiri dikenal karena jago berburu. Suatu ketika ia mendanai kegiatan berburu, Boreel dan dua temannya sesama Belanda dikenal dengan sebutan Trio De Jager atau tiga pemburu.
"Salah satu peserta dan pendana kegiatan berburu adalah administratur Parakansalak yaitu W Th. Boreel, dia memang dikenal jago berburu di Priangan bersama rekannya Kerkhoven dan Baron Van Heeckeren dari Sinagar, mereka dikenal sebagai Trio De Jager," ungkap Irman.
"Hampir seluruh pelosok priangan bahkan hingga ke Sumatera pernah mereka datangi. Boreel juga sempat menemani pangeran Austria Prins Ferdinand saat berburu ke daerah Cianjur selatan pada tanggal 17 April 1893. Mereka berburu banteng di daerah Tangeung, Sindangbarang, Cipandak dalam cuaca hujan. Dia juga membantu E.J Kerkhoven dalam membentuk area berburu Venatoria di wilayah Cikepuh pada 30 Desember 1900," sambungnya.
![]() |
Saking gemarnya berburu, Boorel bahkan menyewa lokasi perburuan seluas 7 ribu hektar selama 29 tahun. Hingga suatu ketika, benih cinta tumbuh di hati sang meneer karena seringnya bertemu dengan Ameri.
"Benih cinta mereka berawal karena sering bertemu saat berburu ke wilayah selatan Sukabumi. Ameri atau Iyi yang seringkali ikut dalam perburuan rupanya mulai menarik hati sang tuan, gadis yang mulai beranjak dewasa dengan kulit kuning langsat dan postur semampai itu selalu menjadi peserta yang ditunggu Boreel untuk hadir," ungkap Irman mengisahkan.
Cinta pada pandangan pertama membuat dada sang Meneer bergetar, ibaratnya pertemuan pertama adalah awal dari segalanya, bayang-bayang akan Ameri begitu kuat memenuhi pikiran Boreel, putri tukang rebab itu telah menawan hati sang tuan.
"Meski usia Boreel saat itu sudah tidak muda (50 tahun lebih), namun karena kebiasaan fisiknya di perkebunan masih menunjukan kegagahan dan keperkasaannya terutama saat menunggang kudanya yang bernama Rubinia. Sementara saat itu usia Ameri belum genap 17 tahun cukup dewasa untuk mengenali perasaannya," kata Irman.
"Namun mengingat kelas sosialnya berbeda ditambah lagi secara fisik tidak sempurna, maka Ameri tidak pernah memikirkan perasaan itu. Saat itu banyak pria Belanda yang menyukai Ameri, namun karena rumor tentang Administratur sebagai kepala perkebunan menyukai Iyi maka banyak yang mundur. Iyi sendiri menyadari bahwa hubungan dengan tuannya bukanlah hal yang biasa," sambung Irman mengisahkan.
Dalam kehidupan masa kolonial tersebut kelas masyarakat memang dibedakan antara Eropa dan Pribumi, kedua kelas terebut tidak diakui secara resmi jika menikah.
Singkat cerita, setelah menempuh jalan yang terjal akhirnya Ameri alias Iyi Endah dinikahi sang meneer sekitar tahun 1910 dalam usia 17 tahun dan ditempatkan di sebuah rumah tidak jauh dari gedung Patamon.
"Mereka melewati hari dalam perbedaan dengan bahagia, kekurangan Ameri tak pernah menyurutkan cinta Boreel, bahkan kelebihannya dalam melayani dan mengabdi pada suami telah menutup pintu hati Boreel kepada wanita lainnya. Boreel tak pernah lagi mencari cinta yang lain, tertutup sudah pintu hatinya, di hatinya hanya ada satu wanita: Iyi Endah alias Ameri," pungkasnya.