Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung buka suara terkait adanya salah satu santri yang didenda hingga Rp 37 juta. Pasalnya denda tersebut diberlakukan oleh salah satu yayasan di Kabupaten Bandung.
Ketua Bidang Informasi MUI Kab Bandung, Aam Muammar, menyesalkan dengan adanya tindakan sewenang-wenang terhadap peserta didik atau santri dari pihak pesantren atau yayasan. Menurutnya, dalam ajaran Islam menuntut ilmu itu sebuah bentuk kewajiban.
"Artinya pihak-pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah atau swasta yang menyelenggarakan pendidikan harus memberikan fasilitas seluas-luasnya bagi santri untuk bisa mendapatkan layanan pendidikan yang baik," ujar Aam, saat dikonfirmasi, Kamis (10/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya menjelaskan kalaupun ada pungutan-pungutan dari lembaga pendidikan yang sifatnya dari non pemerintah harus tetap dalam batas wajar. Pasalnya, pungutan tersebut dibutuhkan untuk keberlangsungan kegiatan pembelajaran.
"Tapi itu sifatnya tidak berlebihan, ada unsur profit nya di sana keuntungan yang sifatnya lembaga atau yayasan dan yang terpenting ini jangan sampai memberatkan dari pihak santri sendiri," tegasnya.
Dalam persoalan tersebut pihak yayasan dan orang tua santri telah bersepakat di awal saat memasukan santri tersebut. Salah satunya kesepakatannya adalah adanya denda jika santri tersebut berbuat tidak baik atau keluar dari yayasan.
Aam menilai tidak pantas jika adanya perjanjian transaksi dalam sebuah pendidikan. Apalagi, perjanjian tersebut memberatkan santri.
"Kalaupun sifatnya perjanjian itu sebagai bentuk komitmen dari pihak lembaga dan orang tua untuk sama-sama mempertahankan anak didiknya, agar tetap melaksanakan kewajibannya sebagai peserta didik di sana, ya itu bagus, tetapi tidak dengan bentuk sanksi yang sifatnya tidak memberatkan," ucapnya.
Menurutnya sanksi tersebut akan menjadi beban yang berkepanjangan bagi keluarga santri. Bahkan jika atas dasar perjanjian itu bisa berakhir di Pengadilan.
"Itu akan lebih memperberat persoalan, jadi lebih baik menurut saya kontrak belajar seperti yang berdampak panjang, bagi salah satu pihak bagi saya kalau bisa jangan sampai memberatkan," jelasnya.
Dia menambahkan seharusnya pihak yayasan atau pesantren bisa memberikan sanksi atau perjanjian yang mendidik. Salah satu contohnya adalah santri tersebut melakukan hafalan Al-Quran atau menghafal kitab-kitab tertentu.
"Tapi, kalau misalkan diberlakukan semacam denda yang belum tentu bisa dipenuhi orang tua, maka ini buat saya seperti cacat hukum," pungkasnya.
(dir/dir)