Cerita Braga Bandung yang Dulunya Dijuluki 'Jalan Culik'

Cerita Braga Bandung yang Dulunya Dijuluki 'Jalan Culik'

Sudirman Wamad - detikJabar
Selasa, 27 Sep 2022 08:00 WIB
Pohon tabebuya di Jalan Braga Bandung mulai bermekaran.
Jalan Braga Bandung (Foto: Rifat Alhamidi)
Bandung -

Jalan Braga merupakan jalan bersejarah yang merupakan wajah Kota Bandung. Banyak wisatawan yang sengaja menghabiskan waktu di jalan ini. Namun, ada sisi kelam di balik Jalan Braga tempo dulu.

Dulu, Jalan Braga adalah salah satu kawasan yang rawan kejahatan jalanan. Dikutip dari situs resmi Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (DBMTR) Jabar, awalnya Braga hanyalah jalan kecil yang sunyi. Kala itu, Braga rawan tindakan kejahatan. Julukan 'Jalan Culik' pun disematkan pada Braga yang kini jadi ikonik.

"Lantaran lumayan rawan tindak kriminal, jalan ini sempat dijuluki Jalan Culik. Braga adalah jalan angker, karena banyak orang yang dianiaya dan kehilangan nyawa penyamun saat melintasinya," tulis situs DBMTR Jabar itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kerawanan tindak kejahatan meningkat setelah terjadinya agresi militer. Braga menjadi amat rawan dilewati orang Belanda maupun penduduk setempat. Braga juga dikenal sebagai Karrenweg, kemudian Pedatiweg (Jalan Pedati). Sesuai dengan alat angkutan umum yang biasa digunakan pada tahun 1800-an

Perubahan nama Pedatiweg menjadi Bragaweg mungkin pula akibat ketenaran Toneelvereeniging Braga (Perkumpulan Tonil Braga), yang didirikan di Pedatiweg pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter F. Sijthoff. Selain itu, ada juga versi yang menyebutkan, Braga diambil dari nama sebuah minuman khas Rumania yang biasa disajikan di Societeit Concordia yang berada di ujung selatan Bragaweg.

ADVERTISEMENT

Masih dalam catatan DBMTR Jabar, pembangunan Jalan Braga masih erat kainnya dengan Jalan Raya Pos atau yang dikenal Jalan Anyer Panarukan. Jalan yang dibangun Gubernur Jendral Hindia Belanda Herman Willem Deandels pada periode 1808-1811.

Sejarah lainnya adalah Jalan Braga ini juga berkaitan dengan peristiwa tanam paksa pada 1831-1870 yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda. Saat itu, kondisi keuangan pemerintah merosot setelah terjadi Perang Diponegoro periode 1825-1830. Kopi menjadi komoditas utama sat itu.

Asal Nama Braga

Jalan Braga Bandung tempo dulu.Jalan Braga Bandung tempo dulu. (Foto: Istimewa/Koleksi digital University Leiden)

Nama Braga sendiri masih tidak jelas hingga sekarang. Kata Braga, menurut sastrawan Sunda MA Salmoen dalam buku "Baruang Kanu Ngora", berasal dari kata "ngabaraga". Artinya, berjalan menyusuri sepanjang sungai. Letak Pedatiweg saat ini Braga memang berdampingan dengan Sungai Cikapundung. Jalan yang menyusuri sungai disebut Braga. Sebagaimana halnya jalan yang menjorok ke laut dinamakan dermaga. Sedangkan sinonim kata jalan adalah marga.

Ngabaraga juga bisa diterjemahkan ke dalam bahasa 'kirata' alias dikira-kira tapi nyata menjadi ngabar raga, yang berarti bergaya memamerkan tubuh, nampang, atau mejeng. Braga waktu di bawah penjajahan Belanda maupun setelah Indonesia merdeka menjadi the place to see and to be seen. Braga memang dikenal sejak dulu hingga sekarang sebagai pusat kota yang mempunyai banyak pertokoan dan hiburan untuk bergaya. Tempat rendezvous sambil jalan-jalan dan belanja.

Perubahan nama Pedatiweg menjadi Bragaweg mungkin pula akibat ketenaran Toneelvereeniging Braga (Perkumpulan Tonil Braga), yang didirikan di Pedatiweg pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter F. Sijthoff. Selain itu, ada juga versi yang menyebutkan, Braga diambil dari nama sebuah minuman khas Rumania yang biasa disajikan di Societeit Concordia yang berada di ujung selatan Bragaweg.

Terkait hal itu, Sudarsono Katam dalam buku "Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930-1950" mengungkapkan, Mungkin perubahan nama Karrenweg menjadi Bragaweg diawali melalui bahasa lisan masyarakat Bandung pengagum ketenaran Toneel Braga. Mereka menyebut Karrenweg dengan Bragaweg dalam pembicaraan sehari-hari, hingga ditetapkan sebagai nama resmi oleh Gementee Bandoeng.

Toneelvereeniging Braga banyak mendapat kesempatan untuk unjuk kebolehan di Gedung Societeit Concordia (kini digunakan sebagai Museum Konferensi Asia Afrika Bandung) guna menghibur golongan elit Eropa yang tinggal di Bandung. Kaum elit tersebut di antaranya para juragan perkebunan (Preangerplanters) serta pejabat pemerintah kolonial Belanda.

Yang jelas, menurut J.P. Verhoek, Ketua terakhir Perkumpulan Tonil Braga, seperti ditulis Haryoto Kunto dalam buku "Wajah Bandoeng Tempo Doeloe", nama Jalan Braga tidak ada hubungannya dengan penulis drama dari Portugis, Theofilo Braga (1843-1924), atau nama Dewa Puisi Bragi dalam cerita mitologi Jerman. Pun tidak terkait sama sekali dengan Braga, pahlawan bangsa Viking atau nama sebuah kota di utara Portugal.

(sud/iqk)


Hide Ads