Mata Sukarsih menerawang ke langit-langit rumahnya, seakan sedang menggores lagi guratan peristiwa, waktu dan tempat ketika dirinya hidup di zaman penjajahan Jepang.
Mimik wajahnya berubah seketika, serius dan sesekali tersenyum saat merunut perjalanan hidup sebagai veteran Laskar Wanita (Laswi) Indonesia. Ceritanya runtut dan menjelaskan bahwa ia betul-betul saksi hidup dalam kisah 'Hiroshima 2' di Sukabumi.
Dalam Piagam Tanda Kehormatan Menteri Pertahanan RI, Sukarsih tercatat lahir pada 07 Februari 1925 atau sekarang berusia sekitar 97 tahun. Namun ia memperkirakan usianya sebenarnya sudah melebihi 100 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sanes emut deui, emak mah pan kantos kuli ka Jepang. Tos langkung saratus ge da zaman kiwari mah teu aya akte (Bukan ingat lagi, emak kan kerja ke (tentara) Jepang. Sudah lebih 100 tahun, dulu tidak ada akte)," kata Emak Sukarsih mengawali perbincangan dengan detikJabar belum lama ini.
Sukarsih mengatakan, saat zaman penjajahan Jepang ia bekerja sebagai pencari pasir di Cikupa. Pasir itu ia angkut menggunakan bakul untuk membangun markas hingga pabrik miik Jepang di Kampung Pojok Tengah, Desa Tegalpanjang, Cireunghas, Kabupaten Sukabumi yang saat ini disebut-sebut sebagai Hiroshima 2.
Selain mencari pasir, dia juga menjual makanan yang terbuat dari singkong dibungkus daun pisang. Sukarsih juga memasak, mencuci pakaian hingga membersihkan senjata para pejuang.
"Dulu suka kuli ngala keusik di Cikupa. Dina boboko di tambru-tambrukeun. Teras icalan leupeut sampeu, teu aya nu icalan beas harita mah, leupeut sampeu, gegetuk sampeu, purulukan ku kalapa (Dulu suka bekerja mengambil pasir di Cikupa. Di tempat nasi dikumpulkan. Lalu jualan leupeut singkong, belum ada yang jualan beras waktu itu mah, leupeut singkong, gegetuk singkong, ditaburi kelapa)," ujarnya.
"Jam 03.00 WIB sudah masak, jam 05.00 WIB panggil kepalanya (pimpinan tentara) bawa misting ngambil nasi dan sayurnya. Ada yang mau bekel dan sarapan. Datang kalau nyerbu atau mangkat jam 08.00 WIB, jam 17.00 pulang ke rumah," sambung Sukarsih.
Sukarsih ingat betul ketika jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, tentara Jepang akan memberikan kode penanda waktu istirahat. Saat istirahat itu, dia pergi ke pasar untuk membeli makanan yang disebut gegetuk.
"Unggal jongko angeun sepi, sampeu kengeng ngagangsor dicetak weh. Ngaruah sampeu da teu aya nu icalan beas (Setiap toko sepi, singkong hasil diparut dicetak. Mengolah singkong karena nggak ada yang jualan beras)," ujarnya.
Dari pekerjaannya sebagai pembersih senjata, dia juga mengetahui berbagai macam jenis senjata.
"Ketitipan senjata. Jadi kalau pulang, senjata teh ditamrukeun bangsa (ditumpuk seperti) mortir, ada sten gun, granat, ranjau kalau ada musuh dipasang di jalan, nanti kalau ada Belanda bawa mobil kelindes jadi bitu (meledak). Dipasang na teh sok (dipasangnya suka) di Jalan Cagak, Gegerbitung. Belanda markasna di Gekbrong ," tuturnya.
Dia menceritakan, saat bekerja kepada Jepang usianya masih sekitar 25 tahun. Rumah yang asalnya ditempati keluarganya itu 'direbut' oleh Jepang untuk dijadikan markas, sedang Sukarsih dan keluarga dipindahkan ke tempat lain.
"Ngaulaan (nurut ke) tentara. Kan rumah emak dibikin markas di Nenggeng, Cireunghas. Ada toko besar, sama bapak tempat di bikin toko, disewain. Dulu zaman tentara perang Jepang Belanda, (rumah) dibikin markas," sambungnya.
Terkait terowongan yang berada di tengah hamparan sawah, Sukarsih menyebut jika tempat itu dahulunya adalah pabrik kina. Dahulu disebut dengan angka, yaitu angka tiga untuk merujuk pada pabrik kina.
"Ai pabrik terang (kalau pabrik tahu), terowongan disebutnya nomer 3, terus ada pasar yang disebut Pasar Tangkil. Sekarang sudah nggak ada jalan, dulu nah ada segala macam jenis pabrik," katanya.
(orb/orb)










































