Kekerasan terhadap bayi monyet di Tasikmalaya, merupakan satu dari ribuan kasus di Indonesia yang diunggah di jagat maya. Ketua Animal Defenders Indonesia Doni Herdaru Tona mengaku tak heran dengan banyaknya kejadian kekerasan terhadap hewan marak di media sosial.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Asia For Animal Coalition sejak Juli 2020 sampai Agustus 2021, dari 5.480 konten penyiksaan hewan di dunia, sebanyak 1.626 berlokasi di Indonesia.
"Rekor memalukan ini ditambah lagi dengan 1.569 dari 5.480 konten penyiksaan hewan di-upload dari Indonesia," kata Doni kepada detikJabar, Rabu (14/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Indonesia yang menduduki peringkat pertama sebagai negara penghasil dan peng-upload (unggah) konten kekerasan pada hewan, jauh meninggalkan negara-negara lainnya di posisi dua dan tiga," kata Doni menambahkan.
Animal Defenders meningkatkan agar penegak hukum proaktif mencegah terjadinya kekerasan terhadap hewan. Laporan masyarakat terkait kekerasan terhadap hewan harus ditindaklanjuti kepolisian, terutama yang beredar di media sosial (medsos). Hal ini diyakini bisa memberi efek jera terhadap pelaku.
"Kenyataannya, melaporkan kasus-kasus penganiayaan hewan di sosial media, tidak mudah dan banyak sekali hambatan," tutur Doni.
Doni berharap RKUHP yang bakal disahkan menjadi penguat bagi penegakan hukum kekerasan terhadap hewan. Doni tak menampik penegak hukum masih sangat gamang dan ragu dalam menindak para pelaku dengan regulasi dan perundangan yang ada.
Tes Kejiwaan Kompeten
Kasus lainnya yang mencuat di medsos adalah seorang pemuda di Bengkulu Utara. Pelaku memotong kucing yang hamil dan memasaknya, kemudian dimakan. Video saat pelaku diinterogasi kepolisian pun beredar.
"Tentu, hal ini pun harus menjadi perhatian khusus dalam penindakannya. Jangan sampai, ada celah kabur bagi pelaku dengan berpura-pura terganggu kejiwaannya. Jika memang mau diperiksa kejiwaannya, saya rasa publik wajib tahu siapa yang akan memeriksa dan kompetensinya, serta independensinya," kata Doni.
Animal Defenders tak ingin pemeriksaan kejiwaan dilakukan oleh orang yang tak kompeten terhadap pelaku kekerasan terhadap hewan. Hal ini bakal menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum.
Sebelumnya, Pemuda di Kabupaten Tasikmalaya melakukan aksi keji terhadap hewan. Ia menyiksa bayi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) hingga mati dan merekamnya.
Aksi keji pemuda Tasikmalaya itupun mendapat kecaman dari Periset Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Fikom Universitas Padjajaran (Unpad) Herlina Agustin.
Herlina mengatakan kejadian penyiksaan terhadap hewan atau animal abuse bukan kali ini saja terjadi. Bahkan kata Herlina, Indonesia jadi salah satu negara dengan aksi animal abuse tertinggi di dunia.
"Ini bukan pertama kali dan Indonesia termasuk negara yang paling tinggi tayangan media sosial untuk animal abuse. Jadi ini bukan yang pertama pasti. Dalam kasus primata sering terjadi dari tahun 2013," kata Herlina, Selasa (13/9/2022).
Herlina mengungkapkan dalam setiap kasus animal abuse, pelaku sudah hampir dipastikan mengalami gangguan jiwa. Sebab jika orang normal menurutnya, tidak akan mungkin melakukan aksi keji dengan menyiksa hewan apalagi merekamnya.
"Orang yang melakukan animal abuse atau penyiksaan terhadap satwa itu sebetulnya punya gangguan kejiwaan, jadi keluarga atau orang terdekat dia harus bawa ke psikiater karena pasti gangguan, nggak mungkin orang yang nggak gangguan melakukan itu," tutur Herlina.
(sud/mso)