Pelaku Penyiksaan Bayi Monyet di Tasikmalaya Dianggap Sakit Jiwa

Pelaku Penyiksaan Bayi Monyet di Tasikmalaya Dianggap Sakit Jiwa

Bima Bagaskara - detikJabar
Selasa, 13 Sep 2022 14:45 WIB
Petugas memeriksa kondisi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang dijual warga saat sidak perdagangan satwa liar di kawasan Pasar Satria, Denpasar, Bali, Selasa (11/1/2022). Dalam sidak tersebut petugas gabungan menemukan pedagang yang melakukan perdagangan satwa liar seperti monyet ekor panjang yang dijual dengan harga sekitar Rp400 ribu. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/foc.
Ilustrasi (Foto: ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF).
Bandung -

Pemuda di Kabupaten Tasikmalaya melakukan aksi keji terhadap hewan. Ia menyiksa bayi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) hingga mati dan merekamnya.

Aksi keji pemuda Tasikmalaya itupun mendapat kecaman dari Periset Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Fikom Universitas Padjajaran (Unpad) Herlina Agustin.

Herlina mengatakan kejadian penyiksaan terhadap hewan atau animal abuse bukan kali ini saja terjadi. Bahkan kata Herlina, Indonesia jadi salah satu negara dengan aksi animal abuse tertinggi di dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini bukan pertama kali dan Indonesia termasuk negara yang paling tinggi tayangan media sosial untuk animal abuse. Jadi ini bukan yang pertama pasti. Dalam kasus primata sering terjadi dari tahun 2013," kata Herlina, Selasa (13/9/2022).

Herlina mengungkapkan dalam setiap kasus animal abuse, pelaku sudah hampir dipastikan mengalami gangguan jiwa. Sebab jika orang normal menurutnya, tidak akan mungkin melakukan aksi keji dengan menyiksa hewan apalagi merekamnya.

ADVERTISEMENT

"Orang yang melakukan animal abuse atau penyiksaan terhadap satwa itu sebetulnya punya gangguan kejiwaan, jadi keluarga atau orang terdekat dia harus bawa ke psikiater karena pasti gangguan, nggak mungkin orang yang nggak gangguan melakukan itu," tutur Herlina.

Dari kejadian animal abuse itu, menurut Herlina, ada hal yang lebih mengkhawatirkan yakni penyiksaan kepada anak-anak. Sebab seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan biasanya akan melampiaskan hal itu tidak hanya ke hewan.

"Yang ditakutkan lagi adalah berikutnya tidak hanya ke satwa dia melakukan penyiksaan, tapi ke anak-anak karena dianggap lemah juga," ujarnya.

"Jadi kita khawatir bahwa kalau ini dibiarkan dan tidak ditangani maka akan terjadi peningkatan penyiksaan bukan lagi ke satwa, tapi juga ke manusia. Itu yang kita khawatirkan," kata Herlina menambahkan.

Menurut dia, polisi harus bergerak cepat untuk menangani kasus animal abuse meski hewan yang disiksa tidak masuk kategori hewan dilindungi. Pelakunya bisa dijerat pidana.

"Tapi kita bisa melaporkan dia (pelaku) dalam konteks kekejaman binatang ada hukumannya diKUHP jadi pelaku sangat bisa dipidanakan. Jadi gimana caranya agar tidak terjadi, ini kan masalah kejiwaannya masalah gangguan kejiwaan," ucap Herlina.

Perlu Peran Lingkungan

Agar animal abuse tidak lagi terjadi, Herlina menegaskan, diperlukan peran dari lingkungan terhadap orang-orang yang dianggap memiliki masalah kejiwaan.

"Saya melihat pertama kali orang yang melakukan penyiksaan terhadap satwa pasti dia punya gangguan kejiwaan, maka harus dilihat dari lingkungan terdekat, RW RT harus peduli atau melakukan pengawasan terhadap lingkungan sekitar," tuturnya.

"Kalau ada yang terlalu agresif kepada satwa perlu dilaporkan mungkin ke puskesmas dulu untuk pemeriksaan awal sebelum psikiater. Artinya mereka perlu dibantu karena membutuhkan bantuan kesehatan kejiwaan," ujar Herlina.

Halaman 2 dari 2
(bba/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads