Dua batu unik ditemukan warga Kampung Tamansari, Desa Mekarjaya, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Di atas salah satu batu tersebut terdapat jejak kaki berukuran sekitar 45 centimeter.
Jejak kaki tersebut berada di dua batu yang terpisah. Tapak kaki kiri terlihat berukuran normal. Sementara untuk batu lainnya berukuran besar.
Aktivis Budaya dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, Asep Sutajaya (45) mengatakan, batu kaki kiri ditemukan pada tahun 2009. Sementara kaki kanan yang berukuran besar ditemukan pada tahun 2010 silam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi batu ini ada di beberapa tempat yang memang saya pindahkan kemari, dengan tujuannya adalah untuk penyelamatan aset budaya," ujar Asep kepada detikJabar, beberapa waktu lalu.
Pihaknya menjelaskan batu tersebut memiliki kaki yang berukuran berbeda-beda. Salah satunya memiliki ukuran hingga puluhan centimeter.
"Batu ini berbentuk telapak kaki sebelah kanan dengan ukuran besar sekitar 45cm. Yang satu lagi tapak kaki juga, cuma bentuknya tarumpah ukuran 20cm, seperti ukuran kaki manusia saat ini," katanya.
Asep mengatakan batu tersebut dibuat sebagai pijakan sebelum masuk ke dalam rumah. "Memang itu batu tapak, dibuatlah untuk masuk ke rumah. Jadi dipijak dulu sebelum ke rumah pakai batu ini. Mungkin lama kelamaan kan jadi mengikis nih, udah puluhan tahun dipakai, karena untuk dipakai masuk ke rumah menginjak batu itu," katanya.
"Jadi sederhananya masyarakat itu karena ini batu tapak, oh tatapakan, oh berarti untuk ditapaki kalau masuk ke rumah pada zaman dulu. Rumahnya udah gak ada, jadi tinggal batu ini, jadi saya selamatkan dibawa kemari. Daripada ini menjadi sesuatu yang dijadikan mitos atau apa," tambahnya.
Asep berharap batu yang ditemukan tersebut bisa diteliti oleh pihak terkait sehingga bisa diketahui nilai sejarahnya bahkan dibangun sebuah museum untuk menyimpan benda-benda sejarah.
"Museum yang mesti dirawat, dijaga dan dihargai. Tidak hanya itu, saya menginginkan ini bisa menjadi bentuk penelitian ke depannya. Soalnya ini belum dilakukan penelitian secara komprehensif, karena kita belum melibatkan instansi-instansi yang memang bisa sinergi dengan ini," katanya.
"Apakah nanti kajiannya pada masa berapa masehi, atau sebelum masehi, apakah ini zaman Salakanagara, Tarumanegara, atau zaman Majapahit dan sebagainya. Jangan sampai ini hanya praduga-praduga yang memang banyak perspektif, yang akhirnya jadi sesat," katanya.
(iqk/iqk)