Balada Suka dan Duka Sopir Angkot Bandung 3 Dekade di Jalanan

Serba-serbi Warga

Balada Suka dan Duka Sopir Angkot Bandung 3 Dekade di Jalanan

Cornelis Jonathan Sopamena - detikJabar
Rabu, 31 Agu 2022 08:00 WIB
Aep, sopir angkot Stasiun Hall-Gunung Batu di Bandung.
Aep, sopir angkot Stasiun Hall-Gunung Batu di Bandung. (Foto: Cornelis Jonathan Sopamena/)
Bandung -

Angkutan kota atau angkot sempat menjadi primadona pada masanya. Dahulu, tidak ada istilah 'sopir mencari penumpang'. Justru, penumpang yang selalu menantikan angkot untuk membawanya ke tempat tujuan.

Saat angkutan umum masih merajalela, sopir angkot pun terjaga kesejahteraannya. Salah seorang sopir angkot trayek Stasiun Hall-Gunung Batu bernomor 14, Aep (51) menyebut tahun 1980-2010 menjadi masa-masa keemasan angkot.

"Wah, rame banget dulu itu. Anak sekolah belum ada zonasi, belum online, PTN masih ada (belajar luring). Itu mah konsumen yang nyari angkot. Dulu mah itu buat setoran satu rit (putaran trayek) juga dapet," ucap Aep kepada detikJabar beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, ia merasa heran. Meski penghasilannya tergolong besar pada saat itu, Aep justru tidak memiliki mobil angkot sendiri.

"Tapi aneh saya pikir mah. Dulu penumpang bagus, supir kadang-kadang lebih gede penghasilannya (ketimbang pemilik mobil), tapi nggak punya euy mobil sendiri, uangnya nggak ada," kata pria yang sudah menjadi supir angkot selama 30 tahun itu.

ADVERTISEMENT

Seiring berjalannya waktu, jumlah angkot kian menyusut. Koperasi Angkutan Masyarakat (Kopamas) yang membawahi tiga trayek 'Lintas Husein' tersebut bahkan mencatat penurunan unit angkot sebesar 43,4%. Sebelum pandemi, terdapat 212 unit yang diizinkan beroperasi, sedangkan saat ini tersisa sekitar 120 unit saja.

Aep menyebut pandemi dan meningkatnya jumlah ojek online dan taksi online menjadi penyebab utama menurunnya popularitas angkot. "Wah, pandemi mah jangan ditanya lah. Makanya mobil banyak dijual, karena pandemi kan itu. Yang ditarik dealer juga ada. (Turun) drastis angkot mah, habis oge ku online (habis juga dengan kendaraan online)," tuturnya.

Kendati pendapatan ikut serta menurun, Aep justru kini memiliki angkot sendiri. Pemilik mobil angkot tersebut sebelumnya adalah majikannya. Sudah lama bekerja bersama, Aep meminta mobil tersebut untuk dijual kepadanya dengan harga miring.

"Ini (mobil) juga tadinya kan punya orang, saya sudah lama juga sama dia. Pas pandemi saya bilang, 'Pak, udah mobil kasihin (jual) sama saya, saya cicil ke bank. Tapi jangan terlalu mahal, (takut) nggak kebayar'. Makanya pas pandemi juga saya tetap kerja terus, yang penting bisa kecicil ini ke bank," kata Aep.

Aep memiliki kesan personal tersendiri terhadap mobil tersebut lantaran dirinya yang juga diminta oleh majikannya mengambil mobil itu dari dealer. Setelah bertahun-tahun ia pakai, mobil tersebut sempat dipakai sopir angkot selama setahun.

"Yang ngambil dari delaer juga kan ini mah saya. Makanya sayang banget, mobil ini dulu kan dipakai saya, terus nggak ada supir lagi juga, jadi saya ambil (beli) aja. Sudah tahu juga seluk-beluknya mobil ini," ucapnya.

Saat pandemi menghantam, mobil itu menjadi terlantar. Selama 8 bulan lamanya mobil tersebut mangkrak sebelum akhirnya dibeli Aep. Mobil tersebut kemudian ia reparasi hingga menjadi prima kembali.

"Waktu pandemi itu daripada saya nggak kerja, nggak ada yang pakai mobilnya juga, jadi saya ambil (beli) aja ini mobilnya. Dulu udah 8 bulan nggak jalan-jalan ini mobil. Wah, udah bulukan ini atasnya," ceritanya dengan semangat.

Saat ini, cicilan mobil angkotnya sudah melewati setengah jalan. Aep tetap dipenuhi rasa heran lantaran konsumen itu sebetulnya tidak banyak, tetapi ia tetap bisa mencicil mobil angkot tersebut.

"Ini cicilan 5 bulanan lagi (lunas), kemarin cuman ngambil yang satu tahun. Dapet diskon lah gitu, dikasihnya murah. Padahal sekarang mah (konsumen) susah, yang ke stasiun juga sedikit, bisa dihitung jari. Ditambah banyak motor, terus yang online tuh," katanya.

Namun, Aep tetap optimis. Ia berpikir yang paling penting adalah niat dan keinginan bekerja. Baginya, setiap orang sudah mendapat porsi rezekinya masing-masing.

"Ah namanya juga kerja yah, pasti ada saja rezekinya. Cuman itu masalahnya, gede sama kecilnya itu nggak sama. Bisa hari ini banyak, besok sedikit. Yang penting kitanya kerja dulu. Misal sudah sore ya rezekinya segini, mudah-mudahan besoknya lebih bagus lagi gitu kan," pungkas Aep.

(orb/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads