Pemilu dan Pilkada Kota Bandung memang masih jauh digelar. Namun, isu tentang politik identitas diprediksi akan menggeliat saat kontestasi di wilayah Ibu Kota Jawa Barat itu digelar.
Dalam keterangannya, Indonesian Politics Research and Consulting (IPRC) memaparkan terkait potensi terjadinya politik identitas itu. Dari hasil survei lembaganya, hampir setengah warga Kota Bandung sepakat dalam memilih pemimpin harus dilandasi etnis, suku dan agama yang sama dengan mereka.
"Peluang untuk terjadi politik identitas di Kota Bandung itu sangat kuat.Temuan kami menunjukkan bahwa 40-50 persen warga masih menjadikan isu primordial sebagai preferensi utama memilih pemimpin baik di tingkat lokal maupun nasional, termasuk anggota DPR," kata Peneliti IPRC Fahmi Iss, Sabtu (27/8/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
IPRC merinci 36 persen warga Kota Bandung memandang cukup penting kesamaan asal daerah saat menentukan pilihan terhadap calon kepala daerah, anggota DPR/DPRD atau Presiden. Sebanyak 8,4 persen memandang sangat penting, 21,8 persen kurang penting, 11,6 tidak penting, 15,5 tidak tahu dan 6,7 tidak menjawab.
Kemudian 32,5 persen warga Kota Bandung memandang cukup penting faktor kesamaan etnis/suku saat menentukan pilihan terhadap calon kepala daerah, anggota DPR/DPRD, atau Presiden. Sebanyak 6,3 persen memandang sangat penting, 26,6 persen kurang penting, 11,8 persen tidak penting sama sekali, 15,8 persen tidak tahu dan 7 persen tidak menjawab.
Selanjutnya 30 persen warga Kota Bandung memandang cukup penting faktor kesamaan agama saat menentukan pilihan terhadap calon kepala daerah, anggota DPR/DPRD, atau Presiden. Sebanyak 18,7 persen memandang sangat penting, 19,3 persen merasa kurang penting, 10 persen kurang penting, 15,4 pedsen tidak tahu dan 6,6 persen tidak menjawab.
Kemudian, sebanyak 40,6 persen juga setuju Wali Kota Bandung harus merupakan warga asli yang sudah menetap lama di Kota Bandung. Sebanyak 12,7 persen mengatakan sangat setuju, 21,3 persen kurang setuju, 4 persen tidak setuju, 14,7 persen tidak tahu dan 6,7 persen tidak menjawab.
Menurut Fahmi, potensi ini harus disikapi bersama. Selain menjadi tanggung jawab pemerintah, parpol juga ikut berperan supaya potensi politik identitas tidak menjadi isu mengkhawatirkan saat gelaran pemilu dihelat di Kota Bandung.
"Dalam konteks demokrasi modern, preferensi memilih idealnya ditentukan dari kompetensi, latar belakang dan rekam jejak. Kalau semuanya didistorsi dia harus satu etnis, daerah, agama, tentu aspek penting kompetensi bukan jadi hal utama. Itu yg kemudian dikhawatirkan dalam pengelolaan negara sekarang ini," ucapnya.
Dalam temuan lain, politik identitas ini menurut Fahmi justru sering dimanfaatkan parpol untuk mendulang suara. Sehingga, isu-isu utama politik maupun edukasi politik sama sekali tak diperlukan demi meraup suara sebanyak-banyaknya.
"Dalam tren yang kami temukan, politik identitas justru sering ditriger oleh kampanye politik. Misalnya kampanye politik lebih mengedepankan hal-hal yang lebih memancing emosi pemilih, karena akan lebih mudah memancing ketertarikan pemilih. Dibanding ketertarikan subtansi misalnya isu politik, saya rasa itu menjadi bagian penting yang perlu disikapi elit politik saat ini," tuturnya.
IPRC pun merekomendasikan kepada publik supaya lebih selektif lagi dalam memilih calon pemimpin mereka. Publik menurut Fahmi harus turut dilibatkan agar kontestasi politik di Kota Bandung bisa berjalan dengan sehat.
"Publik harus terlibat, parpol juga harus lebih selektif. Karena parpol jadi pintu para calon untuk ikut terlibat dalam kontestasi. Jadi harus lebih selektif menjaring calon calonnya," pungkasnya.
Survei ini dilakukan pada 20-30 Juli 2022. Dengan populasi di 30 kecamatan di Kota Bandung terhadap warga yang sudah berumur 17 tahun ke atas sebanyak 1.002 responden.
Sampel dipilih melalui metode penarikan sampel multistage random sampling. Dengan margin of error rata-rata sebesar Β± 3,2% pada tingkat kepercayaan 95 persen.
(ral/mso)