Kasus HIV AIDS di Kota Bandung sedang menjadi sorotan setelah ratusan mahasiswa hingga ibu rumah tangga dinyatakan positif terinfeksi HIV AIDS.
Hal tersebut diungkapkan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Kota Bandung. KPA mencatat ada 12.358 kasus yang terjadi hingga Desember 2021.
Menjadi penyintas atau orang yang terinfeksi HIV AIDS tentu tidak diinginkan oleh siapapun. Namun jika sudah terlanjur dinyatakan positif, itu bukanlah akhir dari segalanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyintas HIV AIDS masih tetap bisa hidup layaknya orang-orang biasa, tentunya dengan niat dan kemauan besar agar bisa bangkit dan melawan penyakit yang belum ditemukan obatnya itu.
Seperti halnya Yana Sunarya (42). Yana atau yang akrab disapa Jimmy ini adalah satu dari sekian banyaknya penyintas HIV AIDS di Kota Bandung. Yana berbagi cerita tentang dirinya yang dinyatakan positif HIV AIDS sejak 2004 silam.
"Ya saya mulai terdiagnosa HIV itu sekitar tahun 2004. Pada waktu itu memang sekitar tahun 95, 96 saya sempat melakukan kegiatan yang beresiko salah satunya adalah dengan menggunakan jenis narkoba yang disuntikkan," kata Jimmy saat berbincang dengan detikJabar, Jumat (26/8/2022).
Jimmy mengetahui dirinya mengidap HIV setelah temannya menyarankan Jimmy untuk menjalani tes HIV. Sebab waktu itu, kondisi kesehatan Jimmy terus menurun dan memiliki sejarah menggunakan narkoba.
"Sekitar tahun 2002 mungkin sistem antibodi yang ada di dalam tubuh saya itu sudah mulai terasa menurun dan pada waktu itu sih sebenarnya banyak juga sih teman-teman yang menyarankan saya untuk diperiksa HIV gitu," katanya.
Namun ketidakpahaman Jimmy akan gejala penyakit HIV membuatnya menolak mentah-mentah saran tersebut. Bahkan ia menyangkal jika mengidap HIV lantaran Jimmy sudah berhenti total mengkonsumsi narkoba sejak 2001.
"Tapi karena memang waktu itu mungkin penyangkalan saya masih lumayan cukup tinggi karena saya berhenti dari menggunakan narkotika itu sekitar 2001 lah itu udah berhenti gitu. Makanya saya cukup menyangkal pada waktu itu saya enggak percaya dengan yang apa teman saya ceritakan," ujarnya.
Hingga akhirnya, tahun 2004, Jimmy memberanikan diri untuk melakukan tes HIV karena kondisi tubuhnya yang makin parah. Jimmy ingat betul waktu itu ia kehilangan 15 kilogram berat tubuh dan mulutnya mulai ditumbuhi jamur.
Ia kemudian datang ke dokter bersama sang ibu untuk melakukan tes HIV. Benar saja, apa yang ditakutkan oleh Jimmy terbukti. Ia didiagnosis oleh dokter mengidap HIV.
"Tahun 2004 kalau nggak salah sekitar bulan Mei atau April lah (didiagnosis positif)," kata Jimmy.
Mengetahui dirinya mengidap HIV, Jimmy ibarat tersambar petir di siang bolong. Ia tak menyangka apa yang dilakukannya dulu dengan mengkonsumsi narkoba membuatnya terjangkit HIV.
"Waktu itu yang ada di pikiran saya itu hanya masalah kematian gitu karena saya berpikir saya enggak bakalan pernah bisa sehat, saya nggak bakalan pernah bisa berdaya lagi," ujarnya.
"Akhirnya ya ada rasa keinginan untuk bunuh diri lah, untuk apa ya untuk yang hopeless lah gitu enggak bisa ngapa-ngapain dan lain sebagai, syok banget," sambungnya.
Bukan hanya Jimmy, keluarganya pun syok dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada Jimmy begitu ia didiagnosis positif HIV.
"Mungkin karena memang terbatasnya informasi dan lain sebagainya saya mendapatkan perbedaan dalam artian kayak kamar mandi saya harus terpisah, sampai untuk mencuci baju pun saya harus terpisah gitu di keluarga sendiri," ucap Jimmy sambil tersenyum.
Kondisi itu membuat Jimmy makin terpuruk. Seiring berjalannya waktu, pria kelahiran 19 Februari 1980 ini mencoba bangkit. Jimmy dipertemukan dengan orang-orang yang senasib dengannya. Orang-orang itu berasal dari komunitas Rumah Cemara.
"Dan saya bersyukur juga pada waktu itu ketemu dengan beberapa teman-teman salah satunya adalah dari Rumah Cemara. Mereka menguatkan saya, datang ke rumah memberikan penguatan terhadap saya, terhadap keluarga gitu," ujarnya.
Dari situlah, Jimmy mulai memberanikan diri keluar dan berinteraksi dengan orang lain. Namun tetap, ia hanya berinteraksi dengan orang-orang yang menurutnya dianggap perlu.
Hal itu kata Jimmy mesti dilakukan oleh seorang penyintas HIV. Sebab untuk dapat bangkit dan bertahan dari penyakit tersebut, selain dukungan psikologis juga diperlukan upaya pengobatan secara medis.
"Akhirnya saya semakin kuat, saya harus berani keluar gitu untuk melawan permasalahan yang sudah saya hadapi terutama untuk masalah kesehatan. Karena itu tadi kalau misalkan takut untuk keluar kan otomatis juga saya takut untuk datang ke pelayanan kesehatan," ungkapnya.
Namun Jimmy mengungkapkan tidak mudah untuk bisa terbuka kepada orang lain akan kondisinya itu. Stigma negatif soal penyintas HIV jadi salah satu problem yang dihadapi Jimmy dan juga penyintas HIV lainnya.
Menurutnya penyintas HIV sempat dicap telah menjadi orang yang tidak lagi berdaya dan mampu melakukan aktivitas seperti biasa. Jimmy pun berupaya untuk menepis stigma negatif terhadap penyintas HIV.
Salah satu caranya adalah dengan memberanikan diri berbicara dan keluar untuk membuktikan jika seorang yang mengidap HIV masih tetap biasa beraktivitas biasa.
"Permasalahan HIV ini sendiri kan cukup simpang si gurih di masyarakat, artinya kayak wah orang dengan HIV itu hanya tinggal kentut dengan tulang lah, yang tidur di rumah sakit hanya di blangtar dan lain sebagainya, gitu," ucap Jimmy.
"Tapi enggak seperti itu, banyak juga kok teman-teman yang bisa beraktivitas, berolahraga bisa sepak bola, bisa tinju sekalipun," jelasnya.
Jimmy menuturkan dari perjalanannya itu, yang terberat yang ia lalui adalah proses penyangkalan atau menolak kondisi saat ia didiagnosis positif HIV.
"Yang bikin berat itu proses penyangkalan tadi ya, apalagi dalam fase pada waktu itu saya sudah berhenti dari menggunakan narkotika. Artinya oh Tuhan gini ya di saat saya mau baik itu Tuhan masih ini gitu. Nah hal-hal yang seperti itulah proses tawar-menawar yang seperti itu yang membuat saya terpuruk," ungkapnya.
Saat ini, Jimmy sudah bangkit dan beraktivitas sama dengan orang-orang lainnya. Meski harus mengkonsumsi obat sejak belasan tahun lalu, Jimmy bisa menyatu dengan orang-orang di sekeliling.
Jimmy sekarang merupakan salah satu relawan yang tergabung dalam Jabar Quick Respon. Jimmy mengaku banyak hikmah dari apa yang ia alami saat ini.
"Hikmahnya bisa menjadi lebih baik saya bisa berkarya lebih baik. Saya bisa melakukan hal-hal yang baik gitu dan lain sebagainya jadi hikmahnya sih banyak banget," katanya.