Dalam Kompleks Wyata Guna di Jalan Pajajaran No. 5, Kota Bandung, terdapat sebuah gedung yang tidak biasa di salah satu pojok halamannya. Di sana terdapat tulisan "Perpustakaan Braille" pada bagian samping bangunannya.
Di dalamnya, hanya terdapat seorang perempuan muda yang tengah membolak-balik halaman sebuah buku. "Silakan, kak. Masuk aja nggak apa-apa," ucapnya kepada wartawan.
Saat masuk, gedung tersebut terlihat seperti sebuah perpustakaan pada umumnya. Namun, bentuk ubin yang didesain khusus agar lebih ramah kepada tunanetra dan tulisan penanda kategori di rak buku dengan huruf braille menjadi pembeda utama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perempuan yang menyapa tersebut adalah pustakawan perpustakaan braille ini. Ia bernama Desak Gede Delonix. Perempuan 24 tahun tersebut tidak pernah menyangka akan bekerja di perpustakaan untuk tunanetra.
"Nggak (terpikirkan kerja di sini), sebenernya kepikiran kerja di perpustakaan juga nggak. Pengennya di arsip," ucap perempuan yang akrab disapa Onix ini pada detikJabar, Senin (22/8/2022).
Dirinya memutuskan mencoba bekerja di tempat ini ketimbang tidak bekerja sama sekali. Lama kelamaan, ia justru merasa betah bekerja di perpustakaan braille.
"Soalnya lagi Covid kan susah cari kerja, terus saya kerja di sini daripada nganggur gitu. Tapi lama-lama betah sih, udah setahun setengah lah di sini. Kan saya masuk sini Februari 2021," kata Onix.
![]() |
Onix merupakan lulusan jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Setelah lulus kuliah, ia sempat menganggur terlebih dahulu selama 6 bulan sebelum bekerja di perpustakaan braille.
"Nggak kerja (sebelumnya). Soalnya saya kan fresh graduate, tahun 2020 baru lulus. Sekitar 6 bulan (kemudian) baru langsung kerja gitu. Dulu saya Ilmu Perpustakaan Unpad," ujar perempuan keturunan Bali itu.
Belum pernah mendapat pelajaran membaca huruf braille sebelumnya, Onix pun perlu belajar bahasa braille dahulu sebelum bekerja di sini. Sebab, sudah menjadi kewajiban bagi pegawai di perpustakaan braille bisa membaca huruf braille.
Dirinya menekuni ilmu huruf braille tersebut setahun setengah yang lalu melalui bimbingan atasannya di Kantor Pusat Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Sentra Abiyoso, yang terletak di Jalan Kerkof No. 21, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
"Nggak (diajarin) di sana (Unpad) mah. Bener-bener baru belajar pas masuk sini, diajarin ibu yang di Kantor Pusat Abiyoso sana," tuturnya.
Saat ditemui wartawan, Onix ternyata sedang mengecek jumlah halaman untuk katalog. Pasalnya, katalog buku-buku di perpustakaan braille tersebut telah terbengkalai selama beberapa tahun. Alhasil, Onix perlu membuat pembaharuan katalog.
"Lagi ngecek jumlah halaman, ini buat katalog. Soalnya ini kan pustakawannya tuh udah dari 2018 nggak ada, terus saya pas masuk di sini kan tahun kemarin, berarti tiga tahunan lebih lah (nggak ada pustakawan). Makanya banyak yang belum di katalog-in," kata Onix
Ternyata, pihak BPBI pun kurang memerhatikan perpustakaan ini. Pasalnya, pustakawan di tempat itu baru ada kembali setelah pergantian pengurus perpustakaan braille.
Sementara karena memiliki gemar membantu, Onix merasa sangat cocok bekerja di perpustakaan braille ini. Pasalnya, ia merasa dibutuhkan dan dapat memberi dampak bagi pengunjung perpustakaan itu.
"Paling bermakna sih bisa belajar (tentang) orang tunanetra. Jadi nuntun misalnya kalau kita kan nggak terbiasa ya, atau misalkan ada yang susah nyari bukunya, saya yang ambilin. Atau nggak misal seperti wawancara gini, misalnya ada orang yang observasi gitu. Jadi senang membantu gitu," pungkasnya.
(orb/orb)