Harun Kabir sudah tidak asing lagi bagi warga Sukabumi. Nama pahlawan itu diabadikan sebagai nama jalan di Kota Sukabumi, tepatnya menuju kawasan pasar induk.
Kapten Harun Kabir menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya Dinas Sejarah Kodam III, Divisi Siliwangi, didapuk sebagai Kepala Staf Brigade II Surjakantjana yang membawahi Bogor, Cianjur dan Sukabumi.
Pria kelahiran 5 Desember 1910 itu merupakan asisten residen terakhir Bogor di zaman pemerintahan Hindia Belanda. Pasca proklamasi kemerdekaan, Kapten Harun Kabir mendirikan Laskar Ciwaringin 33.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yaitu sebuah organisasi perjuangan yang diberi nama berdasarkan alamat rumahnya di Jalan Ciwaringin, Kota Bogor. Sekitar tahun 1946, Laskar Ciwaringin 33 kemudian dilebur menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Harun Kabir kemudian menjadi opsir di lingkungan Brigade II Surjakantjana dengan pangkat mayor. Akan tetapi karena adanya kebijakan dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta yang menurunkan satu tingkat pangkat para tentara, maka pangkatnya kemudian diturunkan menjadi kapten.
Dikutip dari Album Sejarah Indonesia Kapten Harun Kabir menjadi target incaran Militer Belanda. Pada Juli 1947 Militer Belanda melakukan Agresinya yang pertama.
Saat itu Kapten Harun sedang bergerilya di daerah Cianjur Selatan. Soekarti (istri Kapten Harun) dan ketiga anaknya Tina (12), Hetty (11), Joyce (4) yang mulanya akan ke Banten untuk mengungsi, kemudian memutuskan untuk menyusul suaminya ke Cianjur.
Pertemuan mereka berlangsung haru biru di tengah suasana perang. Kapten Harun menyuruh sang istri dan anaknya tinggal di sebuah gubuk di sekitar bukit daerah Cioray.
Sementara itu, Kapten Harun melanjutkan perjuangannya melawan Belanda. Ia tak lupa berpamitan dengan keluarganya, memeluk dan menciumi satu per satu anaknya.
Rabu malam, tepatnya pada 12 November 1947, Soekarti dan tiga anaknya kaget bukan kepalang. Harun Kabir datang dibopong oleh dua pengawalnya, yaiti Letnan Dua Arifin Tisnaatmidjaja dan Sersan Mayor Soekardi karena sakit Malaria.
Ia kemudian beristirahat bersama keluarganya. Pada pagi harinya, sekitar pukul 04.00 WIB, gubuk mereka sudah terkepung oleh pasukan Belanda.
Sadar dirinya telah dikepung, Kapten Harun segera memakai seragamnya dan menenangkan sang istri yang mulai khawatir akan nasib mereka.
Tak berselang lama, sebuah seruan keras menyuruh para penghuni gubuk untuk keluar. Dengan tenang, Kapten Harun membuka pintu gubuk dengan menggandeng Soekarti yang menggendong si kecil Joyce. Di belakang mereka, Tina dan Hetty masing-masing tangannya dipegang oleh dua pengawal Harun Kabir.
Di luar gubuk, seorang sersan Belanda berpakaian tempur lengkap mendekat sambil membawa senter dan pistol. Sersan itu lantas memerintahkan Harun dan dua pengawalnya untuk memisahkan diri.
Ketiganya dibariskan namun dalam posisi berhadapan dengan Soekarti, Tina, Hetty dan Joyce. Sambil memandang keempatnya, Harun masih sempat memainkan senyum dan membisikkan kata-kata.
"Kuatlah! Jangan takut! Ada Allah," kata Harun.
Baca juga: Maknai HUT ke-77 RI Lewat Sajian Nasi Liwet |
Mereka bertiga (Harun Kabir dan kedua pengawal) dibariskan dan segera berjalan menuju truk Belanda, tiba-tiba suara rentetan senjata berbunyi, ketiga diberondong peluru militer Belanda.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, sejarah mencatat bahwa Harin Kabir masih sempat berteriak "Merdeka".
Sang kapten dibunuh di hadapan istri dan ketiga anaknya. Mereka terisak menyaksikan orang yang disayanginya sudah terbujur kaku, setidaknya beberapa waktu lalu masih sempat memeluk dan mencium mereka.
Usai penembakan tersebut, suasana sekitar hening sejenak. Dengan langkah pelan dan santun, Sersan Belanda itu lantas menghampiri Soekarti.
"Nyonya, ini dalam situasi perang. Suami Nyonya membunuh tentara kami untuk bangsa dan negaranya, kami pun membunuhnya demi bangsa dan negara kami. Harap Nyonya mengerti," tutur Sersan bule itu dalam bahasa Belanda.
"Ya, saya mengerti," jawab Soekarti dengan nada tenang.
Ketiga jasad pejuang itu dimakamkan di Cioray. Belasan tahun kemudian makam Kapten Harun Kabir dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan.
Tak lama setelah itu, makam Harun Kabir dipindahkan lagi ke Sukabumi daerah Ciandam sesuai dengan amanah beliau semasa hidup. Dia dimakamkan di samping ayahnya Raden Abung Kabir Natakusumah, keturunan langsung dari Bupati Bandung ke-5 Raden Wiranatakusumah I (1769-1794).
Simak Video "Video: Kisah Saryono, Guru yang Sudah Mengajar 33 Tahun Ditemani Motor Tua"
[Gambas:Video 20detik]
(dir/dir)