Baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan aksi remaja mengadakan parti dengan tema kostum safari dan animal print. Video itu sempat diunggah oleh akun district666_ sebelum akhirnya dihapus.
Dalam video itu menunjukkan remaja putra-putri itu mengenakan pakaian yang cukup minim. Aksi tak senonoh seperti melakukan gaya hubungan suami istri dan joget-joget juga dipertontonkan dalam video itu.
Dosen Departemen Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran Hadiyanto mengatakan, fenomena ini tidak dapat muncul begitu aja tanpa ada sebab dan akibat. Salah satunya disebabkan oleh budaya global yang menyebar melalui digital.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Fenomena ini tidak berdiri sendiri tetapi ini adalah sebuah interelasi berbagai aspek terutama yang sangat-sangat dominan sekarang adalah teknologi informasi yang semakin masif. Bahkan saat ini kita sebut sebagai digital society (masyarakat digital)," kata Hadiyanto saat dihubungi detikJabar, Jumat (12/8/2022).
Lebih lanjut, masyarakat termasuk remaja akan sangat mudah mengakses berbagai informasi baik itu tentang gaya hidup (lifestyle), pergaulan dan lain sebagainya. Kemudahan akses tersebut juga tanpa ada batas. Budaya global menjadi salah satu yang diserap oleh para remaja.
"Itu dia tentu akan berinteraksi dengan dunia luar apalagi tidak ada batas-batas, wilayah dan lain sebagainya. Dengan dunia maya ini maka seolah-olah semua itu berada dalam genggaman para remaja ini. Kemudian kebetulan itu yang dia akses budaya-budaya (global) seperti itu," ujarnya.
Dia menjelaskan, fenomena tersebut menjadi salah satu dampak negatif dari zaman milenial, terlepas dari berbagai dampak positif lainnya. "Kemungkinan masyarakat remaja di Sukabumi ini melihat dari sisi negatif menurut ukuran parameter norma budaya, sosial agama yang ada di kita," kata dia.
Terlebih, menurutnya, masyarakat di Jawa Barat memiliki sisi dengan nilai agama dan budaya sunda yang kental dengan tatakrama. Fenomena itu juga semakin besar saat tersebar di media sosial.
"Bisa saja ini sekelompok kecil orang kemudian dia apalagi karakter remaja tingkat narsisnya tinggi, keinginan berhubungan interelasi dengan heteroseksual semakin meningkat sehingga dengan fenomena itu seolah-olah menemukan titik temu bagi mereka. Seolah-olah ikan ketemu airnya," jelasnya.
Selain itu, Hadiyanto menjelaskan, kontrol sosial kepada remaja juga perlu diperhatikan. Menurutnya apabila ada pembiaran di masyarakat maka akan terjadi persoalan kritis.
"Jadi masyarakat dalam hal ini tidak boleh melakukan pembiaran kepada remaja-remaja kita yang misal pulang sekolah (kuliah atau kerja) tidak langsung pulang tapi nongkrong-nongkrong. Nah ini pemandangan yang saya pikir perlu ada kontrol sosial," kata Hadiyanto.
"Ini bisa jadi komunitas kelompok kecil saja, karena dibesarkan oleh media sosial, viral, sehingga seolah-olah besar. Saya yakin juga ada remaja di Sukabumi yang baik, mungkin juga lebih banyak jumlahnya," tutupnya.
(dir/dir)