Kota Sukabumi memiliki julukan lain selain Kota Mochi, yaitu Kota Polisi. Sebutan itu telah diperkuat dengan Surat Keputusan Wali Kota nomor 88.45/115-Huk/2022 yang ditetapkan pada 31 Meret 2022 lalu. Surat tersebut juga diteken oleh Wali Kota Sukabumi Achmad Fahmi.
Di dalamnya disebutkan, seluruh elemen terkait dengan Pemerintah Daerah Kota Sukabumi memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menyosialisasikan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi terwujudnya Kota Sukabumi sebagai Kota Polisi.
Lalu bagaimana ceritanya Kota Sukabumi mendapatkan julukan Kota Polisi?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penjelasan itu ada kaitannya dengan sejarah atau kejadian di masa lampau. Di Kota Sukabumi berdiri lembaga pendidikan polisi nasional tertua yaitu Sekolah Pembentukan Perwira (Setukpa) Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri.
"Sukabumi ada lembaga pendidikan polisi nasional tertua yang masih ada, di masa Hindia Belanda sempat akan didirikan patung polisi untuk menghormati polisi se-Hindia Belanda," kata Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah kepada detikJabar, Rabu (27/7/2022).
Setukpa Lemdiklat Polri telah berulang kali mengalami perubahan nama. Pada tahun 1927 sampai 1942 (periode penjajahan Belanda) Setukpa diberi nama Politie School (Opleiding School voor het personeel der politie). Dia mengatakan, sekolah tersebut menjadi pusat sekolah polisi nusantara pertama dan terbesar pada masanya.
Tak hanya mendidik personil polisi tingkat tinggi dan rendah, bahkan mendidik pula pamongpraja dan militer untuk kepentingan khusus. Maka pelajarannya beragam mulai pelajaran umum, pelajaran khusus kepolisian hingga salah satu ujiannya adalah simulasi pemberontakan.
Irman mengatakan, Sukabumi semakin menjadi kota yang terikat dengan polisi pada masa itu. Terbukti dengan rekomendasi perhimpunan Inspektur Hindia Belanda.
"Sekira tanggal 6 Oktober 1932, para inspektur polisi Hindia Belanda memutuskan untuk mendirikan sebuah monumen polisi di Kota Sukabumi untuk mengenang anggota polisi se-Hindia Belanda yang gugur saat bertugas. Peresmian rencananya akan dilakukan pada bulan Agustus 1939, namun karena kondisi genting Hindia Belanda saat perang Dunia kedua, monument tersebut gagal didirikan," jelasnya.
Pada masa penjajahan, Sukabumi dinilai menjadi kota yang paling aman sehingga pemerintah Hindia Belanda 'membuang' para pejuang yang memberontak ke Sukabumi. Beberapa di antaranya yaitu Bung Hatta, Sjahrir, Dr Tjipto Mangunkusumo, Haji Rasul (Ayahnya buya Hamka). Sebelumnya, para pejuang nasional seperti Raja Sulawesi, putra-putra Raja Lombok, Raja Aceh yang memberontak juga dibuang ke Sukabumi.
Beralih di masa penjajahan Jepang, pusat pendidikan kepolisian se-Indonesia masih di Kota Sukabumi dan mengganti nama Politie School menjadi Djawa Keisatsu Gakko. Irman menjelaskan, Raden Said Sukanto yang merupakan pengajar di Sekolah Polisi kemudian diangkat menjadi Kepala Sekolah Polisi.
Selain mendidik para polisi, Djawa Keisatsu Gakko juga mendidik tentara Jepang untuk kepentingan kepolisian. Pada masa Jepang inilah dididik tokoh-tokoh Polri nasional seperti mantan Kapolri Hoegeng yang mempunyai pengalaman menarik ketika berulang kali ditempeleng Jepang di Sukabumi. Kemudian bapak Brimob nasional, Muhammad Jassin yang dua kali duduk di bangku sekolah polisi yaitu tahun 1941 dan tahun 1943.
"Sukabumi juga menelurkan banyak tokoh-tokoh Polri Nasional, polisi juga berperan dalam perjuangan mengambil alih kekuasaan di Sukabumi maupun mempertahankan kemerdekaan," ujarnya.
"Sejarah Sukabumi tidak lepas dari keberadaan pembaga pendidikan polri dan kisah para tokohnya. Dalam kajian branding menjadi identitas dan differensiasi yang kuat sebagai Kota Polisi," sambung Irman.
(dir/dir)