Sejarah Bunbin Bandung: Didirikan Belanda, Diperjuangkan Ema Bratakoesoema

Sejarah Bunbin Bandung: Didirikan Belanda, Diperjuangkan Ema Bratakoesoema

Rifat Alhamidi - detikJabar
Rabu, 27 Jul 2022 11:36 WIB
Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoological Garden) memutuskan akan tetap dibuka saat perayaan Hari Raya Idul Fitri. Marcom Bandung Zoo Sulhan Syafii mengatakan, pihaknya sudah bersiap diri untuk menerima wisatawan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Foto: Kebun Binatang Bandung (Siti Fatimah/detikcom)
Bandung -

Keberadaan Kebun Binatang Bandung atau Bandung Zoological Garden rupanya memiliki sejarah yang panjang. Kebun binatang ini awal mulanya didirikan oleh para kolonial Belanda, sebelum akhirnya diambil alih dan diperjuangkan oleh seorang warga Bandung bernama R Ema Bratakoesoema.

Dikutip dari dokumen sejarah Kebun Binatang Bandung, kawasan pariwisata satwa ini mulanya didirikan pada 1933 oleh orang Belanda bernama W. H. Hoogland. Bersama rekan senegaranya yang berasal dari perkumpulan pecinta hewan, Hoogland mendirikan kebun binatang dengan nama pertama kali yaitu Bandoengsche Zoologich Park (BZP).

Selain didominasi bangsa Belanda, sejumlah pribumi saat itu turut andil dalam pendirian BZP. Salah satunya yaitu R Ema Bratakoesoema. BZP pun lalu mendapat pengesahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 12 April 1933 Nomor 32, dan perkumpulan orang-orang tersebut dinyatakan sebagai pemiliknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tahun-tahun awal pendiriannya, BZP mulai dilanda masalah besar. Sebab, saat itu tentara Jepang mendarat di Tanah Air pada Maret 1942. Otomatis, tentara dan para pejabat Belanda ikut ditahan oleh tentara Nippon sebagai tawanan perang, termasuk Hoogland dan rekan senegaranya.

Karena Hoogland ditahan, BZP lalu diurus oleh Ema Bratakoesoma. Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, turut membawa pengaruh pada keberadaan kebun binatang saat itu. Sebab, para tentara dan orang-orang Belanda yang sempat menjadi tawanan perang, akhirnya dipulangkan ke negara asalnya, termasuk Hoogland. Praktis sejak saat itu, Ema menjadi pribumi yang didaulat untuk mengurus keberadaan kebun binatang.

ADVERTISEMENT

Namun pada akhir tahun 1945, masalah kembali muncul. Bandung kembali dikuasai penjajah, terutama di bagian Utara atas bantuan sekutu. Sementara, Ema dan para pejuang kemerdekaan waktu itu berada di bagian Bandung Selatan. Praktis, keberadaan kebun binatang tak terurus lagi karena wilayahnya yang berada di bagian Utara dikuasai Belanda.

Tapi karena kepeduliannya terhadap satwa kebun binatang, Ema mengutus para gerilyawan untuk menyelundup ke Bandung Utara dan mengecek keberadaan BZP. Kebetulan, saat itu tepatnya pada Maret 1946, ada peristiwa Bandung Lautan Api yang membuat kebun binatang makin tak terurus tuannya.

Setelah peristiwa Bandung Lautan Api, para perjuangan kemerdekaan di Bandung masih terus dihadapkan dengan peperangan melawan Belanda. Pada Juni 1947 terjadi aksi Militer Belanda I yang memaksa Ema memusatkan perhatian dan aktivitasnya untuk memimpin pasukan pejuang melakukan perang gerilya.

Begitupun saat Belanda melancarkan agresi militer ke II, Ema sudah berada di Kota Bandung dan menjadi wethouder atau pejabat pemerintah daerah. Ema menyempatkan mengadakan upaya penyelamatan satwa penghuni BZP yang masih tersedia. Ditambah, banyak satwa yang terlantar dan tak ada biaya yang dimiliki untuk perawatan.

Kemudian pada 1 Januari 1950, Indonesia resmi menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dari hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Pada pertengahan tahun 1956, Hoogland dan beberapa temannya dari Belanda kembali ke Bandung.

Mereka lalu mendapati keadaan BZP tidak terawat, lahan taman hewan (istilah yang dipakai waktu itu untuk kebun binatang) tampak seperti hutan karena ditumbuhi hutan liar, kandang-kandangnya rusak dan satwa-satwa yang masih hidup yang diselamatkan Ema tinggal sedikit.

Melihat keadaan tersebut, Hoogland yang sejak awal mendominasi kepemilikan BZP berunding dengan Ema untuk membicarakan nasib dan masa depan BZP. Dalam perundingan tersebut akhirnya disepakati tiga hal.

(1) Membubarkan BZP (2) Melikuidasi sisa kekayaan dan (3) Mendirikan Badan Hukum baru untuk melangsungkan usaha BZP. Berdasarkan kesepakatan tersebut, pada tanggal 22 Februari 1957, Ema mendirikan Yayasan Margasatwa Tamansari atau Bandung Zoological Garden.

Sebagai tanda penghargaan kepada W. H. Hoogland, maka Ema menunjuk Hoogland sebagai Ketua yayasan serta memasukkan beberapa orang Belanda yang pernah menjadi pengurus BZP. Pada akhir tahun 1957 Hoogland dan kawan- kawan dari Belanda pulang kembali ke negeri mereka.

Selanjutnya Ema memimpin Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT) dan sekaligus kebun binatang hingga wafat pada tahun 1984. Menariknya, Ema sebetulnya tak memiliki dana yang cukup untuk membangun Kebun Binatang Bandung yang keadaannya sudah porak poranda. Sementara, keadaan ekonomi dan perbankan nasional pada waktu itu juga belum berkembang.

Padahal untuk membangun kembali kandang-kandang dan menambah satwa-satwa koleksi memerlukan dana yang besar. Disamping itu, diperlukan pula tenaga karyawan yang kecakapannya sesuai, sedangkan waktu itu pengangkatan karyawan tidak didasarkan pada keahlian atau kemampuan pengurusan satwa melainkan didasarkan pada kesediaan dan kesanggupan merawat satwa, antara lain membangun kandang-kandang dan membersihkan lahan kebun binatang yang seperti hutan liar.

Namun, dengan pengorbanannya, taman hewan yang tadinya porak poranda itu dapat dibangun dan dikembangkan hingga kemudian menjadi Kebun Binatang Bandung yang sekarang ini. Kepengurusan Kebun Binatang Bandung setelah Ema wafat pada tahun 1984 dilanjutkan oleh penerusnya. Kebun Binatang Bandung juga sampai masa ini masih banyak diminati oleh masyarakat baik dari dalam maupun luar kota bahkan sampai wisatawan mancanegara yang berdomisili di Kota Bandung.

(ral/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads