Istana Tak Mau Campur Tangan, Ini Kata Letjen (Purn) Djadja Suparman

Istana Tak Mau Campur Tangan, Ini Kata Letjen (Purn) Djadja Suparman

Siti Fatimah - detikJabar
Sabtu, 16 Jul 2022 21:47 WIB
Letjen (purn) Djadja Suparman
Letjen (purn) Djadja Suparman (Foto: Siti Fatimah/detikJabar)
Sukabumi -

Surat Letnan Jenderal (Purnawirawan) Djadja Suparman kepada Presiden Joko Widodo terkait kasus korupsi era dahulu telah mendapat respons dari pihak istana. Istana merespons bahwa pihaknya tidak akan ikut campur permasalahan hukum.

Menanggapi hal tersebut, Mantan Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya pada 1997-1998 itu mengatakan hanya meminta keadilan terkait proses hukum yang saat ini dia alami. Djadja melihat sosok Presiden Jokowi sebagai wasit Negara yang memiliki kekuasaan tunggal.

"Saya minta kepada Presiden itu minta keadilan saja. Keadilan apa? Keadilan bagi saya, keadilan atas orang-orang yang telah melakukan pelanggaran hukum terhadap saya," kata Djadja kepada detikJabar, Sabtu (16/7/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi kalo orang-orang bilang Presiden tidak bisa apa-apa, salah itu omongan, salah besar. Kalau negara ini tidak ada wasitnya terus mau jadi apa. Presiden itu hanya satu dan diberikan kekuasaan tunggal," tambahnya.

Djadja menjelaskan, alasan dia bersurat kepada Presiden Jokowi bukan untuk meminta pertanggungjawaban atas dirinya tetapi pertanggungjawaban atas proses hukum. Pasalnya selama sembilan tahun ini, dia menilai proses hukum tidak jelas.

ADVERTISEMENT

Diketahui, pada persidangan 27 September 2013, ketua majelis hakim Letnan Jenderal Hidayat Manao menyatakan Djaja terbukti melanggar Pasal 1 ayat 1 A juncto Pasal 28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam dakwaan primer, serta Pasal 1 ayat 1 B Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ia divonis 4 tahun penjara, dan denda Rp 30 juta.

"Berarti dari tahun 2013-2022 ini 9 tahun dong dibiarin gitu, nah inilah saya menghargai putusan majelis hakim tapi saya menolak semua isi putusan itu karena menurut saya tidak benar. Silahkan buka berkas perkara karena kesalahan yang terjadi sampai lahan itu diresmikan Presiden kesalahannya adalah tanah itu sudah dibangun tapi belum dialihkan ke Dirjen Bina Marga dari Kodam (Komando Daerah Militer)," paparnya.

"Presiden bertanggung jawab bukan harus mempertanggungjawabkan masalah saya, bukan. Bertanggung jawab tentang pelaksanaan hukum ini, aturan hukum yang telah ditetapkan oleh negara. Jadi jangan salah kaprah bilang tidak ada keterkaitan dengan negara," sambung Djadja.

Dia mengatakan, nama baiknya kini telah hancur dengan kasus yang dianggapnya belum terbukti benar. "Saya tidak akan nuntut ganti rugi apapun kepada negara. Nama baik saya sudah dihancurkan, nggak apa-apa buat saya tapi gentle," ujarnya.

Selain kepada Presiden, Djadja mengaku sudah lebih dulu berkirim surat kepada DPR, MPR dan Komnas HAM pada 2015 lalu namun tak menerima tanggapan.

Sekedar informasi, Istana Kepresidenan merespons surat terbuka Djadja Suparman yang ditujukan ke Presiden Jokowi. Istana menegaskan pemerintah tak boleh mengintervensi kasus hukum.

"Kalau itu kasus hukum murni pemerintah tidak boleh intervensi," kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko lewat pesan singkat kepada detikcom, Senin (11/7/2022).

Kasus yang membuatnya segera dipenjara adalah perkara korupsi soal ruilslag (tukar guling) lahan untuk tol di Jawa Timur. Kasus bermula pada 1998.

Sebagaimana diberitakan detikcom, Djaja Suparman menerima Rp 17,6 miliar dari PT Citra Marga Nusaphala Persada (CNMP) pada awal 1998. Uang itu digunakan untuk membeli tanah 20 hektare di Pasuruan, merenovasi markas batalion di Tuban, dan mendirikan bangunan Kodam Brawijaya di Jakarta.

Sisanya, Rp 13,3 miliar tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka Djaja didakwa korupsi uang negara Rp 13,3 miliar.

(yum/yum)


Hide Ads