Sebagai predator yang menghuni puncak rantai makanan, harimau dianggap sebagai karnivora paling ditakuti. Tidak aneh, dalam catatan sejarah banyak tertulis soal perburuan hewan tersebut karena dianggap menakutkan, salah satunya di Sukabumi.
Persoalan sederhana lainnya adalah sang harimau kerap blusukan ke perkampungan hingga memakan ternak warga hal itulah yang kemudian memantik kemarahan warga. Sampai kemudian di era kolonial di Sukabumi terkenal beberapa kelompok pemburu yang dikenal salah satunya De Jagers.
"Diantaranya (anggota) ARW Kerkhoven, Van Heeckeren dan EJ Kerkhoven yang disebut djoeragan sepoeh, mereka berasal dari perkebunan Sinagar Cibadak, ketiganya jago berburu dan sering mendapatkan piala dalam lomba berburu saat itu, EJ kerkhoven mendirikan juga perkumpulan berburu Venotaria yang secara ketat mengatur perburuan supaya tidak ada perburuan liar," kata Irman Firmansyah, Pakar Sejarah dari Yayasan Dapur Kipahare yang juga pengarang buku Soekaboemi the untold story, Kamis (16/6/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diceritakan Irman, perburuan harimau zaman dulu dianggap hobi olahraga yang dilakukan para bupati maupun pejabat Belanda.
"Selain mereka yang terkenal jago berburu dari Sukabumi adalah Th Boreel dari Parakansalak dan keluarga Bartels dari Pasir Datar, mereka berkumpul dalam organisasi Soekaboemische Landbouw Vereeniging perkumpulan para pengusaha perkebunan," ucap Irman.
"Perburuan seringkali dilakukan dengan pejabat Eropa misalnya Frans Ferdinand Duke of Austria yang kematiannya menjadi pemicu perang dunia pertama juga sempat berburu ke daerah panumbangan Jampang Tengah," katanya menambahkan.
Saat ditanya kurun waktu para pemburu ini bermunculan, Irman menjelaskan hal itu sejak masa VOC perburuannya sekitar tahun 1723.
"Makin ramai sejak dibukanya perkebunan tahun 1860-an karena banyak bangsawan Eropa datang seperti Johan II, Lichenstein, kalo Frans Ferdinand datang ke Panumbangan tahun 1893, perburuan ini terus berlangsung hingga tahun 1930-an meskipun pelan-pelan pemerintah Hindia Belanda melakukan pembatasan," papar Irman.
Baca juga: Jejak Misterius Harimau Jawa di Sukabumi |
Perburuan dan Kepunahan
Nyoto Santoso, Dosen Fakultas Kehutanan IPB/Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika IPB menulis soal spesies harimau tersebut berikut ulasan spesies itu punah karena perburuan. Dikutip dari laman lipi.go.id, Nyoto meminta mencermati soal kenapa spesies harimau (Jawa, Sumatera, maupun tutul) banyak diburu.
"Itu lah keserakahan manusia yang tidak ada puasnya, yang selalu mencari hal-hal musykil sehingga merusak alam. Sampai sekarang para pemburu masih saja berusaha menangkap dan membunuh harimau. Ini karena kulitnya, dagingnya, tulangnya, giginya-konon-berharga sangat mahal," tulis Nyoto seperti dikutip detikJabar, Kamis (16/6/2022).
"Sebagian masyarakat di Indo China menganggap semua organ tubuh macan adalah obat mujarab, bahkan ada yang menganggapnya punya kekuatan magis. Karena itu, harimau nilainya secara ekonomi sangat tinggi. Asumsi seperti itulah yang seharusnya dikoreksi. Tidak benar bahwa semua organ tubuh harimau bisa untuk obat berbagai penyakit. Tidak ada tes laboratorium medis yang membenarkan pendapat tersebut," sambung Nyoto dalam tulisannya.
(sya/yum)