Ramai penampakan harimau diduga Harimau Jawa yang bernama latin Panthera tigris sondaica di wilayah Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu, mengundang penasaran sejumlah pihak. Jejak penampakan harimau itu di Sukabumi bahkan banyak yang terpatri dalam bingkai sejarah sejak era kolonial Belanda.
Irman Firmansyah, Pakar Sejarah dari Yayasan Dapur Kipahare yang juga pengarang buku Soekaboemi the untold story menceritakan kepada detikJabar sejumlah kisah soal Harimau Jawa di era penjajahan Belanda dulu. Ada ragam kisah menarik dan unik diceritakan oleh Irman terkait sang raja hutan tersebut.
"Harimau Jawa di Sukabumi pada masa kolonial masih cukup banyak dan dijadikan buruan sebagai olahraga maupun buruan warga karena mengganggu ternak, misalnya saja ketika Scipio dan Tanujiwa akan berkunjung ke Gunungguruh dan Pelabuhanratu tahun 1687 mereka menemukan bekas benteng Pajajaran yang sudah jadi hutan rimba dan dihuni harimau hingga anak buahnya ada yang dimangsa," kata Irman, mengawali kisahnya Minggu (12/6/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Irman menjelaskan Scipio yang dimaksud adalah Pieter Scipio van Oostende adalah seorang penjelajah dan prajurit Belanda berpangkat Sersan di abad ke-17 M. Sementara Tanujiwa adalah seorang warga pribumi keturunan Pajajaran yang diangkat jadi letnan oleh Belanda namun bersekongkol dengan Prawatasari dari Jampang.
"Kemudian ketika Joseph Arnold mengunjungi Andries de Wilde pada 1829 di Sukabumi dia diceritakan bahwa jalan menuju gudang kopi seringkali dilintasi harimau dan pekerjanya ada beberapa yang dimangsa, gudang kopinya sendiri waktu itu disekitar jalan gudang kota sukabumi sekarang," papar Irman.
Irman menceritakan kisahnya berdasar pada referensi sejumlah buku sejarah diantaranya karangan F de Haan berjudul Priangan, kemudian buku Andries de Wilde berjudul Preanger Regentschappen.
Irman juga menceritakan soal kisah Junghunn (Frans Willem Junghunn peneliti Jerman, pemilik perkebunan pasir junghunn di Bandung). Peneliti itu menelusuri wilayah Sukabumi untuk penelitian juga menemukan harimau di wilayah selatan.
"Junghunn menceritakan pengalamannya menyaksikan malam yang buas di Ciletuh, saat itu terang bulan purnama, dari peristirahatannya di atas pohon dia melihat pemandangan yang belum pernah ia saksikan seumur hidupnya, yaitu kemunculan ribuan penyu ke pantai untuk bertelur," ucap Irman.
Namun nahasnya sebelum mereka selesai bertelur dan kembali ke samudera hindia, muncul sekelompok ajag yang kemudian memakan telur-telur tersebut, bahkan setelah semua telur habis, induk penyu pun dimakan, sebuah pertarungan yang tidak seimbang dan kejam, terjadi semacam pembantaian penyu.
"Kisah terus berlanjut, saat para ajag kekenyangan muncul harimau yang sebelumnya sudah mengintai, mereka menyerang para ajag, menggigit dan memakannya. Suasana mencekam itu terjadi semalaman dan saat paginya ketika fajar menyingsing, bangkai penyu dan para ajag tersebut menjadi santapan buaya yang muncul dari muara sungai," kisah Irman.
Peristiwa itu kemudian menambah semangat Junghunn untuk terus menggali potensi dan ilmu di Hindia Belanda, bahkan ia membeli peralatan fotograf senilai 835 gulden (setara gajinya setahun) untuk membantu kegiatannya, sehngga dia dia dijuluki Humboldt van Java.
Soal lokasi Ciletuh yang diceritakan Irman bersumber dari sejumlah referensi buku yang ia baca, lokasinya masih mengandung perdebatan. Menurut Irman ada yang menyebut dekat Ujungkulon namun dari ciri-ciri wilayah kawasan itu berada di Kabupaten Sukabumi.
"Saya melihat ciri-ciri wilayah yang disebutnya sekitar Pantai Ciletuh atau Ujunggenteng yang banyak penyu, namun secara umum faktanya dia pernah ke Sukabumi dua kali dan meneliti berbulan bulan mulai Gunungggede hingga pantai selatan termasuk mengunjungi menhir tugu Sukaraja menelusuri wilayah Sukabumi untuk penelitian juga menemukan harimau di wilayah selatan, Oost Indische Spiegel Karya Rob Nieuwhuys," pungkas Irman.
(Syahdan Alamsyah/tey)