Dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day, wartawan dan berbagai organisasi pers kampus yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Cirebon menggelar aksi di Tugu Proklamasi, Kota Cirebon, Jawa Barat.
Dalam aksi yang digelar pada Senin (30/5/2022) itu, mereka berorasi dan membentangkan poster yang berisikan pesan tentang perlindungan terhadap jurnalis dan kebebasan pers.
"Ini aksi refleksi terhadap Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diperingati setiap 3 Mei. Selama bulan Mei, masyarakat pers memperingati rangkaian Hari Kebebasan Pers Sedunia," ujar Koordinator Aksi Abdullah Fikri Ashri dalam keterangannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamasikan Hari Kebebasan Pers Sedunia sejak 3 Mei 1993. Momentum itu untuk mengingatkan berbagai pihak terkait kebebasan pers dan perlindungan terhadap profesi jurnalis.
Menurut Fikri, meskipun sudah 29 tahun lalu masyarakat dunia memberikan perhatian untuk kebebasan pers, namun kondisi jurnalis masih jauh dari harapan. Ia mencontohkan kejadian yang dialami jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh (51) yang tewas tertembak saat meliput serangan tentara Israel di kawasan Jenin, wilayah pendudukan Tepi Barat pada Rabu (11/5/2022) lalu.
Di Indonesia, kata Fikri, kasus pembunuhan jurnalis juga masih menghantui. Misalnya, kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta, 1996, yang hingga kini belum terungkap pelakunya.
Fikri menjelaskan, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia juga diinisiasi AJI di 20 kota di Indonesia, seperti Bandung, Kendari, dan lainnya. Di Cirebon, massa mengampanyekan kebebasan pers kepada semua pihak.
"Untuk jurnalis, kami mengingatkan agar menjaga kode etik jurnalistik. Kepada pemerintah dan aparat keamanan diharapkan melindungi jurnalis," ujarnya.
Massa aksi juga mengingatkan masyarakat agar menaati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jika ada protes tentang pemberitaan, masyarakat bisa mengajukan hak jawab atau hak koreksi kepada media bersangkutan, bukan ke polisi. Sengketa pers diselesaikan di Dewan Pers.
"Dengan begitu, jurnalis bisa terlindungi. Apalagi, kasus kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi," kata Fikri.
Berdasarkan catatan AJI, sejak 2006 hingga awal 2022, terdapat 911 kasus kekerasan pada jurnalis. Kasus itu meliputi kekerasan fisik, ancaman teror, hingga serangan digital. "Saat ini, serangan digital marak terjadi, seperti doxing atau peretasan," katanya.
Sementara itu, Ketua IJTI Cirebon Raya Faizal Nurathman menambahkan, kasus kekerasan juga mengancam jurnalis di Cirebon. Seorang rekan jurnalis televisi di Cirebon, lanjutnya, pernah diminta aparat menghapus videonya karena merekam kekerasan polisi yang diduga dilakukan kepada pendemo pada unjuk rasa RUU Cipta Kerja 2020. Padahal, jurnalis itu telah menunjukkan identitasnya.
"Kerja jurnalis dilindungi undang-undang. Itu sebabnya, pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Tanpa kebebasan pers, demokrasi tidak ada," ujar Faizal.
(ors/ors)