Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan salah satu masjid tertua dan bersejarah yang ada di Kota Cirebon, Jawa Barat. Masjid yang didirikan pada sekitar tahun 1480 ini berlokasi di kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon dan berhadapan langsung dengan Alun-alun Sangkala Buana.
Selain usianya yang sudah sangat tua, masjid peninggalan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati ini juga memiliki tradisi unik yang mungkin tidak ditemukan di masjid-masjid lain pada umumnya.
Salah satu keunikannya yakni terletak pada 'azan pitu' atau dalam bahasa Indonesia berarti azan tujuh. Azan pitu sendiri merupakan azan yang dikumandangkan oleh tujuh muazin secara serempak, setiap kali pelaksanaan salat Jumat di masjid tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penghulu Masjid Agung Sang Cipta Rasa, KH Jumhur menceritakan asal mula lahirnya tradisi azan pitu. Menurutnya, tradisi azan pitu lahir saat Masjid Agung Sang Cipta Rasa mendapat serangan berupa wabah penyakit dari seseorang yang sakti bernama Menjangan Wulung.
"Pada saat itu banyak istilahnya tukang sihir. Saat itu jika yang azan satu orang selalu terkena sihir dan akhirnya sakit," kata Kiai Jumhur belum lama ini.
"Setelah yang azan menjadi tujuh orang, sihir tersebut pun akhirnya terbang dari Masjid Sang Cipta Rasa. Karena saat itu sihir tersebut menempelnya di kubah masjid," ucap dia.
Pada saat ini, kata Kiai Jumhur, azan pitu hanya akan dikumandangkan setiap kali pelaksanaan salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Proses Pemilihan Muazin Azan Pitu
Sejak tradisi azan pitu ada di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, proses regenerasi muazinnya pun terus berjalan. Hanya saja, ada tradisi atau cara tersendiri dalam proses pemilihan muazin azan pitu ini.
Menurut Kiai Jumhur, tidak semua orang bisa menjadi muazin atau pengumandang azan pitu di masjid Agung Sang Cipta Rasa, kecuali adalah keturunan dari muazin sebelumnya.
Seperti halnya dengan tujuh orang muazin azan pitu yang ada saat ini. Mereka adalah keturunan atau penerus dari para muazin sebelumnya.
"Prosesnya lebih kepada keturunan. Mereka (muazin saat ini) orang tuanya dulunya adalah muazin juga. Selain keturunan, kapasitas keilmuannya juga harus bagus," katanya.
(ors/bbn)