Pengamen badut menjadi fenomena yang sudah sering terlihat di Kota Bandung. Setiap sudut jalanan di wilayah Ibukota Jawa Barat ini, hampir dipenuhi para penjaja jasa hiburan untuk para pengendara di balik kostum tebal yang mereka kenakan.
Motivasi mereka yang menjadi pengamen di balik kostum yang lucu dan menggemaskan ini pun beragam. Ada yang hanya sekedar mengisi waktu di usia senja, namun kebanyakan mereka menggantungkan harapannya demi selembar rupiah.
Esih (51) misalnya. Perempuan asal Purwakarta itu tetap bersemangat turun ke jalan dengan kostum badut tokoh serial kartun Ben 10. Meski tak lagi muda, Esih tetap lincah bergerak mondar-mandir menghampiri pejalan kaki yang melintas di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudah dua tahun ibu dua anak ini melakoni profesinya itu. Bukan materi yang Esih cari, melainkan kebahagiaan di usia senja. "Buat ibu mah untuk hiburan. Zaman sekarang banyak orang sakit kalau diem. Ya daripada jenuh di rumah," ucap Esih saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.
Cerita itu berbeda dengan yang dialami Sandi (24). Pria asal Ciamis ini memang sengaja datang ke Kota Bandung untuk mengadu nasib supaya lebih baik. Pilihan menjadi cosplayer badut pun harus dilakukan agar ia bisa menafkahi keluarganya.
Sandi pun mengaku sudah hampir tujuh tahun menjadi cosplayer. Mengenakan kostum salah satu karakter Marvel yakni Kapten Amerika, Sandi bisa berdiri 7-8 jam di pedestarian Gedung Merdeka untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
"Saya dari tahun 2015 di sini aja. Sudah menikah, anak satu baru satu tahun," kata Sandi kepada detikJabar belum lama ini.
Beralih dari Kawasan Jalan Asia Afrika, warga berkostum badut juga kerap terlihat di Jalan Djunjunan (Pasteur) Kota Bandung. Salah satunya dilakoni Susi, warga Tasikmalaya yang pergi merantau bersama suaminya ke wilayah Ibu Kota Jawa Barat.
Bahkan mirisnya, Susi sampai membawa anak balitanya yang masih berusia 1,5 tahun untuk mengamen menggunakan kostum Winnie the Pooh di jalan. Susi mengaku terpaksa melakukan hal itu karena tak mau menitipkan anaknya kepada orang lain ataupun saudaranya di Bandung.
"Kalau dititipin takut, takut kenapa-kenapa si dedenya. Jadi mending dibawa aja," ucapnya.
"Saya mah enggak apa-apa kalau misalkan dikatain tega sama orang lain bawa anak kecil ngebadut gini, udah risikonya. Daripada dititipin ke orang lain, sayanya yang takut. Terus kalau enggak ngebadut, saya makan hari ini dari mana. Enggak bisa ngandelin suami doang," tuturnya menambahkan.
Menilik sisi lain, bagaimana potret kemiskinan Kota Bandung sehingga fenomena badut ini sampai marak terjadi di wilayah Ibukota Jawa Barat tersebut?
Dikutip detikJabar dari dokumen Kota Bandung Dalam Angka yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2022, jumlah warga miskin tahun 2020 awalnya mencapai 100.020 jiwa. Data itu kemudian bertambah pada 2021 menjadi total 112.500 jiwa warga miskin di Kota Bandung.
Jika dikalkulasikan, warga miskin baru di Kota Bandung mengalami penambahan selama pandemi COVID-19 setahun terakhir. Berdasarkan data BPS, dari total penduduk sebanyak 2.444.160 jiwa, jumlah warga miskin bertambah 12.480 jiwa sejak tahun 2020 hingga 2021.
Dalam data BPS, disebutkan persentase penduduk miskin di Kota Bandung pada 2020 mencapai 3,38 persen. Data kemiskinan itu naik pada 2021 sebanyak 4,37 persen.
Pada data lainnya, indeks kedalaman kemiskinan di Kota Bandung pada 2020 mencapai 0,61 persen. Pada 2021, data itu naik menjadi 0,78 persen.
Kemudian, indeks keparahan kemiskinan di Kota Bandung pada 2020 mencapai 0,13 persen. Pada 2021, data tersebut kembali menunjukan kenaikan menjadi 0,24 persen.
(ral/mso)