Selain Prostitusi, Wanita Sukabumi Dipaksa Angkut Pasir di Sungai Papua

Selain Prostitusi, Wanita Sukabumi Dipaksa Angkut Pasir di Sungai Papua

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Kamis, 24 Feb 2022 13:12 WIB
Isak tangis pecah saat empat orang wanita korban prostitusi di Papua akhirnya tiba di Sukabumi sekitar pukul 23.00 WIB, Rabu (23/2/2022) malam.
Isak tangis pecah saat empat orang wanita korban prostitusi di Papua akhirnya tiba di Sukabumi sekitar pukul 23.00 WIB, Rabu (23/2/2022) malam. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikcomI
Sukabumi -

Empat korban perdagangan manusia yang terjebak di lembah prostitusi Papua akhirnya bisa bernafas lega, hari-hari yang sebelumnya dijalani penuh rasa takut kini berbuah manis setelah mereka bisa kembali berkumpul dengan keluargnya di Sukabumi.

Salah seorang korban sebut saja Melati (18) (Bukan nama sebenarnya) menceritakan hari-hari yang dijalani selama di Papua. Mulai dari bekerja siang dan malam, hingga kerja kasar mengangkut pasir dari sungai atas perintah pemilik tempat hiburan. Melati juga menceritakan salah seorang temannya yang menjadi buruh cuci ketika tidak ada tamu yang datang.

"Ia kami diminta ambilin pasir dari sungai oleh bos tempat hiburan, diminta kumpulin pasir dari sungai. Enggak tahu kami juga untuk apa, minta ambil terus tumpuk" kata Melati, Kamis (24/2/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lingkungan tempat karaoke berada di area perkampungan, sebuah pedalaman di tengah hutan dikeliling tambang emas, rutinitas menemani tamu ternyata tidak hanya dilakukan di malam hari, tapi juga pagi hingga menjelang siang. Rutinitas Melati pagi bersiap merias diri, lalu pukul 07.00 WIB mulai berjaga di tempat hiburan sampai pukul 11.00 WIB.

"Aktivitas pagi jam 07.00 WIT kami mandi lalu merias diri dan mulai bekerja lagi sampai jam 11.00 WIT siang setelah itu istirahat, kerja lagi jam 20.00 WIT sampai jam 00.00 WIT. Tugas kami datangin tamu karaoke, per jam karaoke itu Rp 300 ribu minuman keras berbagai merk ada satu botolnya Rp 1 juta nemanin tamu nyanyi boro-boro ada tips uang nemanin aja enggak ada," tuturnya.

ADVERTISEMENT

Tak Ada Jalan Lain

Melati mengaku saat ini lebih berani menceritakan kondisi kehidupannya dan tiga temannya, karena sudah berada di kampung halamannya. "Kami baru dapat uang kalau melayani tamu soal urusan ranjang, teman saya bahkan pernah karena enggak dapat tamu akhirnya jadi buruh cuci dan ngasuh anak-anak warga di sana biar dapat uang. Kami dipaksa bertahan, karena awalnya kami sudah putus harapan mau ngadu ke siapa kami juga saat itu bingung," ujarnya.

Melati sempat berniat untuk pergi dari lokasi tersebut, namun jangankan kendaraan akses jalan aspal saja disebut Melati tidak ada. Satu-satunya sarana transportasi hanyalah helikopter dengan harga sewa kurang lebih sekitar Rp 30 juta.

"Harga makanan disana satu porsi bakso saja Rp 130 ribu, paling murah makanan ringan Rp 50 ribu air mineral botol kecil Rp 100 ribu. Makanya terpaksa kami melayani tamu, kalau tidak begitu bagaimana kami bisa makan. Internetan saja kami pakai jaringan Wifi pakai satelit, untuk 7 jam itu Rp 100 ribu," pungkasnya.




(sya/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads