Polisi memboyong empat korban perdagangan manusia yang terjebak di lembah prostitusi Papua. Selain korban polisi juga membawa 2 orang pelaku, mereka adalah Herawati alias Izzy (I) dan Munzir Djafar (M) alias Ayah.
Izzy sendiri disebut polisi berperan sebagai mami, dalam keterangan sebelumnya polisi juga menyebut Izzy sebagai pelaku yang menjual para korban ke tersangka lainnya bernama H Kahar (HK). Kapolres Sukabumi AKBP Dedy Darmawansyah mengatakan korban dijual seharga Rp 80 juta perorang.
"Dikatakan mereka akan dikontrak selama 6 bulan dan bisa pulang namun kenyataannya saat mereka minta pulang tidak diizinkan. Mereka dijemput oleh mami (pemilik kafe) inisial I dan akan dipekerjakan di kafenya. Namun karena kafe tidak ramai I ini menjual kembali ke HK seharga Rp 80 juta seorang total Rp 320 juta," ujar Dedy kepada awak media saat rilis pada Kamis (17/2) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Malam tadi, Izzy terlihat mengenakan kaus putih, topi dan kacamata. Saat digandeng petugas ke gedung Satreskrim ia terus menundukan kepalanya menghindari sorotan kamera sejumlah awak media.
"I ini yang menjemput korban bersama sopir pribadinya inisial M, M adalah hasil pengembangan polisi. Keduanya kita bawa kesini karena TKP nya masuk ke wilayah hukum kita sementara HK masuk ke wikayah hukum Polres Paniai, Polda Papua," kata Dedy, Rabu (23/2) malam tadi.
Salah seorang korban sebut saja Melati (18) (bukan nama sebenarnya), mengatakan awal keberangkatan mereka bersama Izzy di tempat hiburan di pedalaman Papua. Tempat mereka berada di lingkungan perkampungan tanpa adanya akses jalan raya, mereka menempati tempat karaoke sekaligus tempat bisnis prostitusi.
"Sama mami (I) yang bawa kita dari Sukabumi kita dijanjikan kerja di cafe , tanpa ada yang begituan (prostitusi) namun sampai sana ternyata kita dipekerjakan di tempat karaoke plus-plus, kita diminta menemani tamu dan dijebak biar mau melayani mereka juga secara seksual," lirihnya.
Namun karena lokasi tempat Izzy sepi, empat korban kemudian dibawa ke lokasi milik HK. Bukannya lebih baik, di tempat pria asal Makassar itu nasib mereka tidak lebih baik dari lokasi pertama.
"Kami juga diminta kerja kasar, ambil pasir dari sungai. Lalu malamnya kami bekerja menemani tamu, bahkan harus mau melayani secara seksual. Dari situ saya berontak, ingin pulang karena kami merasa di sana itu bukan pekerjaan ini yang kami mau," isak Melati.
(sya/yum)