Melawan Lupa Tragedi Leuwigajah, Masyarakat Adat Cirendeu Garap 'Rancage'

Melawan Lupa Tragedi Leuwigajah, Masyarakat Adat Cirendeu Garap 'Rancage'

Muhammad Iqbal - detikJabar
Selasa, 22 Feb 2022 07:03 WIB
Masyarakat Adat Cirendeu Bawakan Lagu Rancage.
Masyarakat Adat Cirendeu Bawakan Lagu 'Rancage'. (Foto: Muhammad Iqbal)
Cimahi -

Urang Sunda nu rancage

Matak nu gawe nu hade
Gancang ulah hararese
Lewat ulah sok talangke

Hayu piara lembur urang
Hayu pelakan tatangkalan
Lembur urang anu alus caina
Urang ropea runtahna

Jagaan hayu urang jagaan
Lingkungan hayu urang jagaan
Cireundeu jadi tempat pang balikan
Kampung endah, tumaninah

Itulah penggalan lirik dari lagu berbahasa Sunda yang berjudul 'Rancage'. Lagu tersebut dinyanyikan oleh sejumlah masyarakat adat Cireundeu usai menabur bunga di bekas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah.

Peringatan dengan menabur bunga merupakan simbol pengingat tragedi 17 tahun silam di mana TPA Leuwigajah meledak. Akibat tragedi itu, sebanyak 157 orang dilaporkan meninggal dunia dan terjadi lautan sampah di Bandung Raya.

"Kita harus melawan lupa. Kalau kita tidak pernah melawan lupa, nanti malah dibiarkan terulang kembali," ungkap Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu Abah Widi kepada detikJabar di Bale Adat Cireundeu, Senin (21/2/2022).

Lagu Rancage yang diiringi dengan karinding dan celempung membawa pendengarnya tidak lupa atas kejadian kelam pada 21 Februari 2005 silam.

Abah Widi menuturkan, tragedi tersebut membawa malapetaka bagi masyarakat sekitar. Bukan hanya rumah yang hancur, tetapi satu keluarga hingga ratusan orang kehilangan nyawa.

Meski tidak ada korban dari masyarakat adat Cireundeu, dirinya amat prihatin atas apa yang terjadi. Ia menilai dari sisi adat, tragedi tersebut karena pengelola sampah tidak permisi kepada masyarakat sekitar.

"Kalau di adat kan, mau melakukan apapun ada permisi, di Sunda ada mipit kudu amit, ngala kudu bebeja. Jadi enggak ada bentuk permisi," ucap Abah Widi kepada detikJabar di Bale Adat Cireundeu.

Baginya, lanjut Abah, pemerintah dinilai tidak meresapi arti dari lagu Rancage. Penggalan lirik lagu Rancage mengingatkan akan pentingnya memelihara alam.

Dirinya menilai, pemerintah dianggap lalai karena lahan yang dibuat TPA merupakan sumber mata air atau penghidupan bagi masyarakat dan kehidupan alam lainnya.

"Itulah karena mereka tidak menikmati (meresapi) syair-syair, lagu-lagu Sunda. Mereka tidak paham. Tidak mengambil tuntunan dari lagu lagu yang didengungkan pada kesenian Sunda. Mereka bekerja sembarangan tidak Rancage atau tidak cakap," ungkap Abah Widi.

"Karena di situ kan mata air. Karena yang namanya mata air, pasti ada kabuyutan. Kabuyutan itu, tempat yang sudah disakralkan oleh orang dulu, namanya kabuyutan. Tidak boleh diganggu," lanjutnya.

Abah Widi bercerita, sebelum ada TPA, sejumlah pepohonan palawija masih banyak ditanami warga. Pepohonan rindang hingga pohon singkong tumbuh subur di mana-mana.

Kenangan itulah, yang kini ingin ia dan masyarakat adat Cireundeu kabulkan. Dengan menanami singkong dan tanaman lainnya membuat ekosistem di sekitar TPA Leuwigajah hijau kembali.

Meski demikian, hal itu tidaklah mudah. Beberapa pekan lalu, ia baru saja mencoba meminum air yang berasal dari bekas TPA itu. Meski belum dilakukan penelitian mendalam, dirinya berharap kualitas air itu dapat kembali seperti semula.

"Air bisa menjadikan kahuripan, air bisa membuat kahirupan. Jadi kan urusan masyarakat adat kahirupan dan kahuripan harus kembali ke alam," imbuhnya.

Ia tidak peduli, langkah tersebut dinilai politis atau menekan pemerintah. Baginya, memelihara alam adalah kewajiban.

"Di tradisi Sunda memelihara alam ini kewajiban. Jadi tujuannya itu, hanya ingin melestarikan alam kembali ke semula," pungkasnya.




(yum/tya)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads