Haji Agus Salim, Intelektual Muslim Pejuang Kedaulatan Negara

Haji Agus Salim, Intelektual Muslim Pejuang Kedaulatan Negara

Hanif Hawari - detikHikmah
Senin, 18 Agu 2025 20:00 WIB
Agus Salim dan istri sebelum menghadiri pelantikan Ratu Elizabeth II di London, 1953
Foto: Agus Salim (Repro: Seratus Tahun Agus Salim)
Jakarta -

Kisah Haji Agus Salim selalu menarik untuk dibahas karena beliau dikenal sebagai salah satu intelektual Islam sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia. Sosok yang akrab disapa KH Agus Salim ini memiliki peran besar dalam perjuangan diplomasi dan politik bangsa.

Nama aslinya adalah Mashadul Haq yang berarti pembela kebenaran, sejalan dengan jalan hidup yang dipilihnya. Dari kecerdasan, kemampuan berbahasa asing, hingga kontribusinya dalam diplomasi internasional, KH Agus Salim dikenang sebagai tokoh penting yang mengharumkan nama Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Latar Belakang Haji Agus Salim

Menurut buku Ensiklopedi Pahlawan: Semangat Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan karya R. Toto Sugiharto, KH Agus Salim lahir di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884. Ia merupakan putra keempat dari Sultan Moehammad Salim yang saat itu menjabat sebagai jaksa di pengadilan negeri.

Kedudukan sang ayah yang terpandang membuat Agus Salim mendapat kesempatan menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Sejak kecil, ia juga dikenal memiliki kecerdasan yang menonjol.

ADVERTISEMENT

Pada usia muda, KH Agus Salim dikenal menguasai tujuh bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, Arab, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903, ia lulus dari Hogere Burgerschool (HBS) pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota sekaligus, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Diplomat Ulung dengan Nilai Keislaman yang Kuat

Dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan karya Maulana Arafat Lubis dkk, disebutkan bahwa KH Agus Salim pernah menjabat sebagai Ketua Partai Sarekat Islam Indonesia pada 1929. Bahkan, bersama Semaun, ia turut mendirikan Persatuan Pergerakan Buruh pada 1919 sebagai wadah perjuangan kaum pekerja.

Keduanya aktif memperjuangkan agar pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad). Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Agus Salim juga dipercaya sebagai salah satu anggota Panitia Sembilan dalam BPUPKI yang merumuskan dasar negara.

Sebelum aktif dalam Sarekat Islam, perjalanan hidup Agus Salim terbilang berliku. Ia beberapa kali pindah kerjaan, mulai dari penerjemah, pembantu notaris, hingga akhirnya merantau ke Indragiri, Riau, lalu ke Jeddah, Arab Saudi.

Di tanah Arab, Agus Salim mendalami ilmu Islam sambil bekerja di kantor konsulat Belanda. Pekerjaan itu dipilih untuk memenuhi keinginan orang tuanya yang mengharapkannya menjadi pegawai negeri. Namun, dari sinilah ia sekaligus mempelajari diplomasi internasional yang kelak menjadi bekal penting dalam perjuangan bangsa.

Bagi Agus Salim, Islam bukan hanya ajaran ritual, melainkan juga pandangan hidup yang menuntun seorang muslim dalam bermasyarakat. Melalui ijtihadnya, ia memiliki corak pemikiran keagamaan yang khas, salah satunya dengan membandingkan ajaran Islam dengan perkembangan peradaban Barat. Ia pun menyimpulkan bahwa kemunduran umat Islam saat itu disebabkan oleh kesalahan dalam menafsirkan ajaran agama.

Berbekal kecerdasan dan penguasaan banyak bahasa asing, Agus Salim dikenal sebagai diplomat ulung Indonesia yang disegani di kancah internasional. Pada masa awal kemerdekaan, ia ikut serta merancang UUD 1945 bersama 18 tokoh lainnya di bawah pimpinan Soekarno.

Salah satu pencapaian diplomatik terbesarnya adalah terwujudnya perjanjian persahabatan dengan Mesir pada 1947, yang menandai pengakuan internasional pertama terhadap Indonesia. Kemampuannya dalam diplomasi terus ia tunjukkan saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di era Kabinet Sjahrir, Amir Sjarifuddin, hingga Hatta.

Agus Salim juga kerap tampil di forum internasional. Pada 23 Maret 1947, KH Agus Salim ditunjuk sebagai wakil ketua Delegasi Republik Indonesia (RI) dalam Konferensi Hubungan Antar-Asia (Inter-Asian Relations Conference) di India. Konferensi ini diprakarsai oleh Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru.

Selain itu, ia juga mewakili Indonesia dalam Konferensi Institut Hubungan Pasifik (Conference Institute of Pacific Relations) di Lucknow, India pada 1950, dan Kolokium Kebudayaan Islam (Colloquium on Islamic Culture) di Princeton, Amerika Serikat pada 1953.

Atas kiprahnya di dunia diplomasi, Agus Salim mendapat julukan The Grand Old Man, sebuah bentuk penghormatan atas jasa dan prestasinya bagi bangsa Indonesia di panggung dunia.

Bapak Intelektual Muslim Indonesia

Dikutip dari laman Kemenag, Haji Agus Salim bisa kita sebut sebagai Bapak Intelektual Muslim Indonesia berkat jasa yang telah diberikan terhadap kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia.

Haji Agus Salim adalah panutan intelektual muslim Indonesia karena mampu menjembatani nilai-nilai Islam dengan tantangan modernitas. Ia meyakini bahwa kemunduran umat Islam bukan karena ajarannya, melainkan akibat salah penafsiran yang tidak sesuai dengan semangat zaman.

Pemikirannya menekankan Islam sebagai pandangan hidup yang membentuk kesadaran setiap muslim akan tanggung jawab sosialnya.

Selain itu, ia konsisten melahirkan generasi intelektual muslim melalui pembinaan pemuda seperti di Jong Islamieten Bond. Dari tangannya lahir tokoh-tokoh besar seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem, menjadikannya benar-benar layak disebut sebagai "Bapak Kaum Intelektual Muslim Indonesia."




(hnh/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads