Apa Itu Sutrah dalam Salat dan Bagaimana Hukum Menggunakannya?

Apa Itu Sutrah dalam Salat dan Bagaimana Hukum Menggunakannya?

Hanif Hawari - detikHikmah
Jumat, 14 Nov 2025 20:00 WIB
Sutrah untuk salat
Sutrah untuk salat (Foto: Hanif Hawari/detikcom)
Jakarta -

Sutrah adalah istilah yang kerap dijumpai dalam salat. Istilah ini merujuk pada pembatas atau penghalang yang diletakkan di depan orang yang sedang salat.

Tujuan utama penggunaan sutrah adalah agar salat lebih khusyuk dan berfungsi sebagai penghalang untuk menghindari orang melintas di depan orang yang sedang salat.

Lantas, apa makna sutrah secara bahasa dan bagaimana hukum menggunakannya saat salat?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengertian Sutrah

Ahmad Sarwat dalam buku Seri Fiqih Kehidupan 3: Shalat, menyebut kata sutrah secara bahasa berasal dari kata "satara yasturu" yang memiliki arti menutupi, menghalangi, menyembunyikan.

Sementara secara istilah (terminologi fikih), sutrah adalah sesuatu yang diletakkan oleh seseorang yang sedang salat di depannya sebagai pembatas antara dirinya dengan orang yang mungkin lewat di depannya.

ADVERTISEMENT

Dalil Disyariatkannya Sutrah

Disyariatkannya sutrah dijelaskan dalam hadits Nabi SAW. Berikut beberapa dalilnya.

Hadits tentang Sutrah dari Ibnu Umar RA

وعَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ، أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ، فَتُوضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَيُصَلِّي إِلَيْهَا، وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ، وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي السَّفَرِ، فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا الأُمَرَاءُ .

Artinya: Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW apabila keluar pada hari raya Id beliau memerintahkan agar diambilkan tombak kemudian diletakkan di hadapannya lalu salat menghadap ke arahnya sementara orang-orang berada di belakangnya. Beliau biasa melakukannya pada saat safar. Semenjak itu, para amir juga melakukan hal yang sama. (HR Muslim, Al-Bukhari, dan Abu Dawud)

Hadits tentang Sutrah dari 'Aisyah RA

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها، أَنَّ رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ فِي غَزْوَةِ تَبُوك عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّي؟ فَقَالَ: ((كَمُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ))؛ رواه مسلم، ولمسلم أيضًا مِنْ حَدِيث طَلْحَةَ بن عُبَيْدِ الله رضي الله عنه.

Artinya: Dari 'Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW ditanya dalam perang Tabuk tentang sutrah orang yang sedang salat. Maka beliau menjawab,"Seperti kayu yang berada di ujung belakang pelana unta." (HR Muslim dan An-Nasa'i)

Hadits tentang Sutrah dari Abu Sa'id Al Khudri RA

Dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Nabi SAW bersabda,

إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها

Artinya: "Jika seseorang mengerjakan salat maka salatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya." (HR Abu Daud, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Hadits tentang Sutrah dari Sabrah RA

Dari Sabrah bin Ma'bad Al Juhani RA, Nabi SAW bersabda,

سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ

Artinya: "Sutrah seseorang ketika salat adalah anak panah. Jika seseorang di antara kalian salat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah" (HR Ahmad, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami mengatakan semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawi Shahihain)

Hadits tentang Sutrah dari Ibnu Umar RA

Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah engkau salat kecuali menghadap sutrah dan janganlah engkau biarkan seorang pun lewat di depanmu. Apabila dia enggan, maka perangilah karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)." (HR Muslim)

Hukum Salat Menghadap Sutrah Sunnah atau Wajib?

Meskipun semua ulama sepakat bahwa penggunaan sutrah (pembatas salat) disyariatkan, terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum menggunakannya-apakah wajib atau sunnah.

Dalam buku Seri Fiqih Kehidupan: 3 karya Ahmad Sarwat, Lc., MA, dijelaskan dua pandangan utama ulama mengenai hukum sutrah:

Pendapat yang Mewajibkan

Sebagian ulama secara tegas mewajibkan sutrah, yaitu As-Syaukani (w. 1250 H) dan Al-Albani (w. 1420 H) beserta beberapa murid beliau. As-Syaukani menyatakan perintah untuk salat menghadap sutrah dalam hadits mengandung petunjuk bahwa hal itu adalah wajib.

"Maka, hendaklah ia salat menghadap sutrah, padanya terdapat satu petunjuk bahwa mengambil sutrah (saat salat) adalah wajib." (As-Syaukani, Nailu al-Authar, 3/5)

Senada dengan itu, Al-Albani menegaskan bahwa hadits sutrah mengindikasikan wajibnya sutrah saat salat.

"Hadits ini memberikan pengertian tentang wajibnya sutrah." (al-Albani dalam Hujjatu an-Nabi, 22, lihat pula: sifat shalat Nabi: 82, Tamam al-Minnah: 300)

Pendapat yang Menyunahkan

Mayoritas ulama, termasuk ulama dari keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali), berpendapat bahwa hukum sutrah adalah sunnah. Bahkan, Ibnu Rusyd al-Hafid al-Malikiy (w. 595 H) berani menegaskan hukum sunnah adalah kesepakatan (ijmak) seluruh ulama, baik untuk salat sendirian maupun sebagai imam.

"Dan para ulama -seluruhnya- telah berijmak akan istihbabnya (sunnahnya) sutrah untuk diletakan antara orang yang salat dengan kiblat, baik jika sedang salat sendirian atau tatkala menjadi imam." (Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, 1/ 82)

Pendapat sunnah ini tercermin dalam literatur mazhab klasik:

  • Mazhab Hanafi: Menganjurkan (sunnah) penggunaan sutrah, khususnya di padang pasir, namun tidak diwajibkan jika merasa aman dari lalu lintas orang. (Ibnu Humam dalam kitab Fathul Qadir)
  • Mazhab Maliki: Hukum sutrah adalah sunnah, dan salat tidak batal jika ada sesuatu yang melintas di depannya. (Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Kafi Fi Fiqhi Ahli Al-Madinah)
  • Mazhab Syafi'i: Disunnahkan meletakkan sutrah (tembok, tiang, dan lainnya) di depan dan mendekat kepadanya, dengan jarak tidak lebih dari tiga hasta. (Imam Nawawi dalam kitab Raudhatu at-Thalibin)
  • Mazhab Hanbali: Pendapat sunnah ini juga didukung dalam kitab-kitab mazhab Hanbali seperti al-Mughni oleh Ibnu Qudamah dan Fathu al-Bari oleh Ibnu Rajab, serta diakui oleh ulama modern seperti Abdullah bin Baaz (w. 1420 H) dan Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H).
  • Ulama Kontemporer: Cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa sutrah hukumnya sunnah, bukan wajib. Abdullah bin Baaz (w. 1420 H) menegaskan bahwa salat menghadap sutrah adalah sunnah muakkadah (sangat ditekankan), bukan kewajiban (Tuhfatul-Ikhwaan bi-Ajwibati Tata'allaqa bi-Arkaanil-Islaam, hlm. 81). Senada dengan itu, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H) juga menyatakan hukum sutrah dalam salat adalah sunnah muakkadah. Namun, beliau memberikan pengecualian bagi makmum, sebab makmum tidak dianjurkan mengambil sutrah karena sudah dicukupkan dengan sutrah yang digunakan oleh imam (Fataawaa Arkaanil-Islaam, hlm. 343).

Wallahu a'lam.




(hnh/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads