Kazakhstan akan bergabung dengan Perjanjian Abraham (Abraham Accords) atau perjanjian normalisasi dengan Israel. Pengumuman tersebut menjadi simbolis mengingat hubungan yang telah ada antara Kazakhstan dan Tel Aviv selama lebih dari 33 tahun.
Pengumuman bergabungnya Kazakhstan dengan Perjanjian Abraham diumumkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam Truth Social pada Kamis (6/11/2025), seperti dilansir Reuters.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kazakhstan merupakan negara pertama di masa jabatan kedua saya yang bergabung dengan Perjanjian Abraham, yang pertama dari sekian banyak negara lainnya," kata Trump dalam unggahannya.
Pemerintah Kazakhstan dalam pernyataannya mengatakan langkah ini merupakan "kelanjutan yang wajar dan logis" dari kebijakan luar negerinya.
"Keikutsertaan kami yang akan datang dalam Perjanjian Abraham merupakan kelanjutan yang wajar dan logis dari kebijakan luar negeri Kazakhstan yang didasarkan pada dialog, saling menghormati, dan stabilitas regional," kata pemerintah Kazakhstan dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Aljazeera, Jumat (7/11/2025).
Pada Kamis (6/11/2025), utusan Amerika Serikat Steve Witkoff menyebut akan mengumumkan bergabungnya salah satu negara ke dalam Perjanjian Abraham, namun tidak menyebutkan namanya.
Meski demikian, disebutkan dalam situs Axios AS negara itu adalah Kazakhstan. Negara dengan mayoritas penduduk muslim itu telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel selama beberapa dekade. Dikatakan Kazakhstan akan bergabung dengan perjanjian tersebut untuk membantu "menghidupkannya kembali."
Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev menjadi satu dari lima pemimpin Asia Tengah yang mengadakan pertemuan puncak dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pada Kamis malam waktu setempat.
Perjanjian Abraham merupakan serangkaian perjanjian normalisasi hubungan antara Israel dengan sejumlah negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan Sudan yang diteken pada pertengahan 2020. Perjanjian ini dianggap sebagai normalisasi Arab-Israel pertama yang terbuka pada abad ke-21.
Para perancangnya menamai Perjanjian Abraham untuk mengekspresikan, menurut pendapat mereka, hubungan antara Yahudi dan Arab karena memiliki nenek moyang yang sama, Nabi Ibrahim AS.
Perjanjian Abraham ditandatangani pada 15 September 2020 di Gedung Putih antara Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Israel dengan mediasi Amerika Serikat.
Trump menjadi perantara Kesepakatan Abraham selama masa jabatan pertamanya. Hal ini dinilai menghancurkan konsensus negara-negara Arab atas Prakarsa Perdamaian Arab 2002, yang mensyaratkan pengakuan Israel dengan pembentukan negara Palestina yang layak.
Dalam beberapa bulan terakhir, Trump berulang kali mengatakan berharap Arab Saudi bergabung dalam Perjanjian Abraham. Namun, para pejabat Saudi keukeuh pada komitmen mereka terhadap Prakarsa Perdamaian Arab.
(aeb/kri)












































Komentar Terbanyak
Ma'ruf Amin Dukung Renovasi Ponpes Pakai APBN: Banyak Anak Bangsa di Sana
Gus Irfan soal Umrah Mandiri: Pemerintah Saudi Izinkan, Masa Kita Larang?
MUI Surakarta Jelaskan Hukum Jenazah Raja Dimakamkan dengan Busana Kebesaran