Bagi umat Islam, kurban adalah sebuah ibadah sebagai simbol kerelaan untuk melepaskan hal-hal duniawi demi nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Namun, di zaman modern yang diselimuti dengan budaya konsumtif, makna kurban ini terasa semakin relevan untuk direfleksikan secara lebih luas.
Sri dan Omar adalah sepasang suami istri yang tinggal di Bogor, Jabodetabek. Alasan pasangan ini berkurban melalui Dompet Dhuafa adalah karena distribusinya yang sangat baik.
"Kekuatan umat itu akan lebih maksimal apabila terorganisir dengan baik. Kalau kita lakukan sendiri-sendiri, mungkin ya hanya itu-itu saja yang kita jangkau," ujar Omar, dalam keterangan tertulis, Senin (2/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sementara kalua terorganisir melalui Dompet Dhuafa, maka pasti akan lebih efektif dan tepat sasaran, serta dampaknya lebih besar," sambungnya.
![]() |
Mereka melihat portofolio Dompet Dhuafa dalam menjaga Amanah kurban ini sangat bagus. Keduanya juga berpikir dan memilih memang lebih arif jika kurban dikelola secara profesional daripada dilakukan sendiri secara individual.
"Kalau di lingkungan sini kan semuanya sama ya. Banyak orang mampu," kata sang istri Sri.
"Setiap tahunnya juga selalu berkurban. Para penerima daging kurbannya juga sama, baik yang kaya maupun miskin," lanjutnya.
Sri menambahkan di luar sana banyak orang-orang yang menikmati daging saja harus menunggu Idul Adha. Pada esensinya, kurban bukan hanya sebatas menyembelih hewan semata, tapi juga mengorbankan sisi konsumtif dalam diri seseorang, yaitu gaya hidup berlebihan yang tanpa sadar telah merusak lingkungan, meminggirkan kaum lemah, dan menciptakan jurang kesenjangan sosial.
Kurban pun telah menjadi simbol pengendalian nafsu. Dalam tradisinya, kurban dilakukan dengan memilih hewan terbaik untuk disembelih.
Ini adalah simbol bahwa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, umat Islam harus berani 'menyembelih' apa yang kita dicintai, seperti harta, status, bahkan kenyamanan diri. Kurban dengan menyembelih hewan ternak juga dapat dimaknai sebagai penyembelihan sifat hewani, ego konsumtif, gaya hidup boros energi, makanan, dan barang yang mendorong eksploitasi alam.
Jika di masa lalu, Nabi Ibrahim AS diuji untuk mengorbankan anaknya, maka di masa kini, kita diuji untuk mengorbankan kenikmatan duniawi yang menimbulkan kesenjangan sosial. Laporan Global Footprint Network menunjukkan manusia kini mengonsumsi sumber daya alam 1,7 kali lebih cepat dari kapasitas regenerasi bumi.
Artinya, gaya hidup hari ini sedang mengorbankan masa depan generasi yang akan datang. Ironisnya, banyak dari konsumsi itu didorong bukan oleh kebutuhan, tetapi oleh budaya pamer dan dorongan psikologis untuk merasa lebih dari orang lain. Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa datang sebagai sarana untuk menantang arus besar ini.
Kurban di Dompet Dhuafa mengajarkan, harta terbaik bukan untuk ditumpuk, tetapi untuk dibagikan. Kenikmatan sejati bukan pada berapa banyak yang dimiliki, tetapi berapa besar manfaat yang ditebarkan.
Beberapa pihak pun kini mulai mengaitkan ibadah kurban dengan misi keberlanjutan, termasuk program Tebar Hewan Kurban (THK) yang digagas Dompet Dhuafa. Program ini tak hanya mendistribusikan daging kurban ke wilayah defisit, tetapi juga memberdayakan peternak kecil secara ekonomi, bukan peternakan massal yang eksploitatif.
![]() |
Selain itu juga THK mendorong pola kurban yang lebih adil, bukan menumpuk di kota-kota besar saja. Melalui jaringan-jaringan cabang dan mitra Dompet Dhuafa di pelosok-pelosok daerah, THK juga mampu menghidupkan ekonomi di pedesaan tanpa harus memperbesar jejak karbon secara masif.
Dengan skema ini, kurban menjadi lebih dari ritual. Kurban menjadi alat transformasi sosial sekaligus komitmen ekologis global. Meski begitu, mengaitkan kurban dengan pengorbanan gaya hidup konsumtif bukan berarti menolak kemajuan atau menafikan kenikmatan hidup.
Justru, ini adalah ajakan untuk mengubah orientasi konsumtif dari sekadar memuaskan diri menjadi lebih bermanfaat bagi banyak pihak. Artinya, membelanjakan harta yang dimiliki itu boleh, asalkan bukan hanya untuk memuaskan nafsu diri, melainkan untuk bermanfaat bagi orang lain.
Oleh karena itu, Idul Adha seharusnya tak hanya menyentuh relung spiritual, tetapi juga memantik kita untuk membentuk ulang gaya hidup sehari-hari. Setiap daging kurban yang kita bagikan, setiap peternak yang kita berdayakan, setiap anak pelosok yang tersenyum menerima daging segar, semua itu adalah buah dari keberanian kita dalam berkurban dan juga mengorbankan diri yang lama menuju diri baru yang lebih peduli dan berkeadilan.
Begitulah kurban di Dompet Dhuafa memiliki dampak dan pengaruh yang besar bagi pandangan para pekurban terhadap sosial. Setiap pekurban yang berkurban di Dompet Dhuafa melalui program THK memiliki nilai sosial dan kepedulian terhadap para peternak kecil, maupun penerima manfaat di daerah-daerah pelosok.
Sengaruh itulah kurban melalui Dompet Dhuafa? Buktikan melalui Tebar Hewan Kurban 1446 H (Dompet Dhuafa).
(hnu/ega)
Komentar Terbanyak
MUI Serukan Setop Penjarahan: Itu Bentuk Pelanggaran Hukum
Berangkat ke Mesir, Ivan Gunawan Kawal Langsung Bantuan untuk Gaza
BPJPH Dorong Kesiapan Industri Nonpangan Sambut Kewajiban Sertifikasi Halal