Seks bebas tanpa pernikahan seringkali berakhir dengan kehamilan di luar nikah. Hal ini bisa menimbulkan banyak masalah bagi pasangan yang terlibat. Kadang-kadang, memilih untuk menikahi wanita hamil menjadi solusi bagi sebagian orang. Namun, bagaimana pandangan Islam mengenai hal tersebut?
Pendapat Mazhab Fiqih tentang Menikahi Wanita Hamil
Berdasarkan buku Seri Fiqih Kehidupan karya Ahmad Sarwat, berikut beberapa pendapat mazhab fiqih mengenai menikahi wanita hamil dalam Islam.
1. Abu Hanifah
Menurut Abu Hanifah, seorang laki-laki yang menghamili wanita boleh menikahinya. Namun, jika laki-laki tersebut bukan yang menghamilinya, ia tidak boleh menggauli wanita itu hingga melahirkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. Malik dan Ahmad bin Hanbal
Mazhab Malik dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa wanita hamil tidak boleh dinikahi kecuali setelah melahirkan dan selesai masa iddahnya. Imam Ahmad menambahkan syarat bahwa wanita tersebut harus telah bertaubat dari dosa zina.
3. Asy-Syafi'i
Mazhab Asy-Syafi'i berpendapat bahwa baik laki-laki yang menghamili maupun bukan, boleh menikahi wanita hamil. Pendapat ini mencerminkan kelonggaran dalam mazhab tersebut.
Peraturan Tentang Perkawinan Wanita Hamil
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yang diatur oleh Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991, berikut peraturan tentang hukum menikahi wanita hamil:
- Wanita yang hamil di luar nikah boleh menikah dengan pria yang menghamilinya.
- Pernikahan tersebut bisa dilakukan tanpa harus menunggu kelahiran anak.
- Setelah menikah, tidak perlu mengulangi akad nikah meskipun anak sudah lahir.
Nasab Anak yang Lahir di Luar Nikah
Dalam buku Kajian Fiqh Munakahat Kontemporer yang diterbitkan Publica Indonesia Utama dijelaskan tentang Pasal 43 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya, tanpa hubungan hukum dengan ayah biologisnya. Ini mencakup hak untuk dirawat, diberi pendidikan, nafkah, nasab, perwalian, dan kewarisan.
Anak luar nikah berhak untuk dirawat dan diberi pendidikan, tetapi kewajiban ini ada pada ibu dan keluarganya, bukan pada ayah biologis. Artinya, ibu bertanggung jawab penuh atas perawatan dan pendidikan anak tersebut. Jika ayah biologis memberi nafkah, itu dilakukan atas dasar kemanusiaan, bukan karena kewajiban hukum.
Hak nasab berarti hubungan keluarga atau keturunan. Anak luar nikah hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Hubungan nasab ini mengatur siapa yang berhak menjadi bagian dari keluarga, termasuk dalam hal kewarisan.
Hal tersebut berdasarkan hadits,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Artinya: "Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur (suami yang sah) dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)," (Hadits shahih riwayat Imam al-Bukhâri, no. 6749 dan Muslim).
Sehingga, jika anak yang lahir di luar nikah ingin menikah, wali yang berhak adalah wali hakim, karena ayah biologisnya tidak memiliki hubungan hukum dengan anak tersebut.
Selain itu, dalam hal kewarisan, anak luar nikah hanya dapat mewarisi dari ibu dan keluarga ibunya. Hukum Islam tidak mengakui hubungan waris antara anak luar nikah dan ayah biologisnya, karena hubungan tersebut hanya diakui jika ada pernikahan yang sah.
(inf/lus)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Daftar Kekayaan Sahabat Nabi