Jadi Tanda Kiamat, Apa Itu Ruwaibidhah di Zaman Penuh Tipu-tipu?

Jadi Tanda Kiamat, Apa Itu Ruwaibidhah di Zaman Penuh Tipu-tipu?

Bayu Ardi Isnanto - detikHikmah
Kamis, 16 Jan 2025 06:30 WIB
Infografis One Day One Hadits tentang Allah maha penerima Taubat
Foto: Andhika A/detikcom
Jakarta -

Sebelum hari kiamat tiba, akan datang zaman penuh tipu daya. Rasulullah SAW menyebut pada masa itu juga akan muncul ruwaibidhah. Apakah yang dimaksud dengan ruwaibidhah? Simak penjelasan berikut ini.

Hadits Tentang Ruwaibidhah

Dilansir dari NU Online Jatim, Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai ruwaibidhah dalam hadits berikut ini:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: سيَأتي علَى النَّاسِ سنواتٌ خدَّاعاتُ يصدَّقُ فيها الكاذِبُ ويُكَذَّبُ فيها الصَّادِقُ ويُؤتَمنُ فيها الخائنُ ويُخوَّنُ فيها الأمينُ وينطِقُ فيها الرُّوَيْبضةُ قيلَ وما الرُّوَيْبضةُ قالَ الرَّجلُ التَّافِهُ في أمرِ العامَّةِ

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya: Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut bicara." Lalu Rasulullah SAW ditanya, "Apakah ruwaibidhah itu?" Rasulullah SAW menjawab, "Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum." (Sunah Ibnu Majah)

Arti dengan redaksi lain berdasarkan kitab Kanzun Ummal, Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda "Sesungguhnya di zaman dajjal penuh dengan kedustaan. Pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat." Kemudian Rasulullah ditanya, "Apa itu ruwaibidhah?" Beliau menjawab, "Seorang yang fasik berbicara tentang urusan umum."

ADVERTISEMENT

Berdasarkan hadits di atas, maka ruwaibidhah adalah seseorang yang fasik. Maksudnya adalah orang tersebut berbicara urusan yang tidak benar atau perkara yang disandarkan (diserahkan) kepada yang bukan ahlinya.

Arti Ruwaibidhah Menurut Bahasa

Dikutip dari situs Muhammadiyah, kata ruwaibidhah berakar dari kata 'rabadha' yang dalam bahasa Arab memiliki banyak makna. Salah satu maknanya adalah berlutut dan bersandar.

Kata 'rabadha' yang merupakan kata kerja kemudian menjadi 'rabidha' atau 'rabidhah' yang merupakan subjek, kemudian berubah menjadi kata 'ruwaibidhah'. Kata ini dimaknai sebagai 'orang lemah yang tidak mampu atau menahan diri dari perkara-perkara yang sifatnya tinggi'.

Makna lainnya adalah 'orang bodoh yang berbicara tentang masalah umum'. Bisa juga dipahami sebagai seseorang atau sekelompok orang yang tidak punya kompetensi wawasan dan pengetahuan dalam hal tertentu, tetapi banyak berkomentar tentang hal-hal yang berkaitan tentang perkara banyak orang.

Ruwaibidhah di Masa Kini

Dalam hadits di atas, ruwaibidhah berkaitan dengan zaman tipu-tipu. Hadits tersebut sepertinya cocok jika dikaitkan dengan konteks zaman sekarang di era media sosial.

Di media sosial, banyak berseliweran informasi-informasi bohong yang dipercayai orang, sedangkan informasi benar justru dibilang palsu. Melalui media sosial pula, banyak orang mencitrakan dirinya menjadi baik untuk tujuan tertentu.

Orang-orang juga bisa berpendapat apa pun di media sosial, meskipun dia bukanlah ahlinya. Inilah yang mungkin disebut ruwaibidhah dalam hadits Rasulullah.

Bermodal akun media sosial atau YouTube, orang bisa menyampaikan pendapat tentang suatu hal yang bersifat publik, misalnya politik, usulan solusi pada suatu permasalahan umum, dan lain-lain.

Memang ada hak berpendapat di negara ini, tetapi ada etika-etika yang harus dipahami. Namun jika dilihat berdasarkan pemahaman agama, tidak semua orang memiliki kewenangan dalam berbicara.

Lebih parahnya jika yang disampaikan adalah urusan agama. Seseorang bisa menjadi 'ulama' dengan modal mencari sumber dari media sosial. Padahal dia cuma meniru dari sumber lain.

Perdebatan liar di media sosial yang berkaitan dengan paham agama inilah yang mungkin akan memunculkan para ruwaibidhah yang sebenarnya. Sebab mengenai urusan agama, tidak boleh sembarangan orang memberikan fatwa.

Untuk itu, kita bisa memulai dari diri sendiri untuk menahan diri menyampaikan pendapat yang bukan keahlian kita. Termasuk di media sosial, kita harus bijak menggunakannya. Wallahu a'lam.




(bai/row)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads