Patung merupakan salah satu objek yang sering kali menjadi topik perdebatan dalam hukum Islam. Patung merupakan bentuk karya seni yang menggambarkan makhluk hidup, atau benda mati, dan banyak orang memiliki pandangan berbeda tentangnya.
Dalam sejarah Islam, Nabi Sulaiman AS pernah membuat patung untuk memperindah bangunannya, bahkan dibantu oleh para jin. Lantas, bagaimana hukum patung dalam ajaran Islam?
Hukum Patung dalam Ajaran Islam menurut Tafsir Al-Qur'an
Dalam surah Al-Anbiya ayat 51-58 diceritakan bagaimana Nabi Ibrahim AS menghancurkan patung-patung yang disembah oleh ayah dan kaumnya, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Anbiya ayat 58,
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
فَجَعَلَهُمْ جُزَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
Arab Latin: Faja'alahum juzaazan illaa kabiiral lahum la'allahum ilaihi yarji'uun
Artinya: "Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya".
Ada satu hal dari peristiwa tersebut yang dapat memberikan arti dari sikap Nabi Ibrahim AS di atas, yaitu bahwa beliau menghancurkan semua berhala kecuali satu yang terbesar.
Dalam buku Islam dan Ipteks yang ditulis oleh Elfan Fanhas, melalui tindakan membiarkan satu berhala ini, Nabi Ibrahim AS ingin menunjukkan kepada kaumnya bahwa tidak ada satupun berhala, yang berapa pun besar dan indahnya, yang layak disembah. Patung-patung tersebut tidak memiliki kemampuan atau manfaat apapun bagi manusia.
Dengan cara ini, patung terbesar yang tersisa dijadikan sarana pembelajaran dan dakwah, agar mereka merenungkan dan menyadari kebodohan menyembah benda mati.
Adapun dalam surah Saba ayat 13 yang menjelaskan tentang nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada Nabi Sulaiman AS, yang antara lain adalah dibuatnya patung-patung. Allah SWT berfirman:
يَعۡمَلُوۡنَ لَهٗ مَا يَشَآءُ مِنۡ مَّحَارِيۡبَ وَتَمَاثِيۡلَ وَجِفَانٍ كَالۡجَـوَابِ وَقُدُوۡرٍ رّٰسِيٰتٍ
Arab Latin: Ya'maluuna lahuu ma yashaaa'u mim mahaariiba wa tamaasiila wa jifaanin kaljawaabi wa quduurir raasiyaat
Artinya: "Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku)"
Dalam Tafsir Al-Quthubi disebutkan bahwa patung-patung itu terbuat dari kaca, marmer, dan tembaga, yang konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi terdahulu.
Patung-patung tersebut tidak untuk disembah atau diduga akan disembah, melainkan sebuah hasil karya seni manusia yang merupakan anugerah dari ilahi.
Sementara itu, dalam surah Ali-Imran ayat 48-49 dan surah Al-Maidah ayat 110 juga diuraikan mukjizat Nabi Isa AS antara lain adalah menciptakan burung dari tanah, dan dengan izin Allah SWT burung tersebut dapat hidup.
Di antara kedua ayat tersebut, terdapat kekhawatiran akan penyembahan berhala atau kemusyrikan. Allah SWT memperbolehkan Nabi Isa AS untuk membuat patung burung, menunjukkan bahwa penolakan dalam Al-Quran bukanlah terhadap bentuk patung itu sendiri, melainkan terhadap kemusyrikan dan penyembahan yang menyertainya.
Syaikh Muhammad Ath-Thahir bin Asyur, dalam menafsirkan ayat mengenai patung Nabi Sulaiman AS, menegaskan bahwa hukum patung dalam ajaran Islam adalah haram.
Pengharaman ini sebagai upaya tegas untuk memberantas kemusyrikan yang telah mendarah daging dalam masyarakat Arab dan selainnya.
Sebagian besar berhala adalah patung-patung, sehingga hukum patung dalam ajaran Islam diharamkan karena alasan tersebut, bukan karena di dalam patung terdapat keburukan, tetapi karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan.
Hukum Patung dalam Ajaran Islam Menurut Ulama Fikih
Para ulama juga sepakat bahwa hukum patung dalam ajaran Islam adalah haram.
Dalam buku Teori Hak, Harta, dan Istislahi serta Aplikasinya dalam Fikih Kontemporerkarya Fauzi, Yusuf Al-Qardawi menyatakan bahwa tingkat keharaman patung akan meningkat jika patung tersebut menggambarkan sosok yang diagungkan, seperti raja, nabi, atau Al-Masih, serta jika patung itu berbentuk objek sesembahan para penyembah berhala, seperti api bagi orang Hindu.
Al-Qardawi menambahkan, bahwa Islam sangat memperhatikan pemeliharaan tauhid dan berusaha menutup rapat segala sesuatu yang berpotensi merusak akidah.
Oleh karena itu, hukum patung dalam ajaran Islam dianggap haram dan setiap muslim diwajibkan untuk menjauhinya, kecuali patung (boneka) yang digunakan untuk permainan anak-anak.
Pengharaman patung ini juga didasarkan pada beberapa hadits, di antaranya:
إن الملائكة لا تدخل بيتا فيه الصورة
"Sesungguhnya malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya ada gambar." (HR. Bukhari)
إن اشد الناس عذابا عند الله يوم القيامة المصورون
"Sesungguhnya manusia yang paling berat azabnya pada hari kiamat adalah mereka yang menggambar." (HR. Bukhari)
أن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما، أخبره أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم: أحيوا ما خلقتم
"Sesungguhnya Abdullah ibn 'Umar RA memberitakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar akan diazab pada hari kiamat, diperintahkan kepada mereka: hidupkan apa yang kamu buat." (HR. Bukhari)
ابن عباس: سمعت محمدا صلى الله عليه وسلم يقول: من صور صورة في الدنيا كلف يوم القيامة أن ينفخ فيها الروح وليس بنافخ
Ibn 'Abbas berkata: "Aku mendengar Muhammad bersabda, 'barangsiapa yang membuat sebuah gambar di dunia, maka pada hari kiamat diperintahkan untuk meniupkan roh ke dalamnya, padahal dia tidak mampu." (HR. Bukhari)
Sementara itu, para fuqaha atau ahli fiqih membedakan antara patung berhala yang dimaksudkan untuk disembah, dengan patung biasa. Patung berhala secara jelas hukumnya diharamkan dalam ajaran Islam karena dapat menjerumuskan manusia ke dalam kemusyrikan.
Menurut Syamsul Anwar, hukum patung dalam ajaran Islam diharamkan, tetapi bukan termasuk haram li dhatih, yang berarti pengharaman patung itu sendiri sebagai objek.
Sebaliknya, larangan ini termasuk dalam kategori haram li ghayri, yaitu karena adanya konteks lain, seperti kepercayaan dan pemujaan terhadap patung yang bisa mengarah pada ingkar kepada Tuhan.
Diceritakan dalam buku Islam, Doktrin, dan Isu-Isu Kontemporer karya Faisal Ismail, pada zaman pra Islam (zaman Jahiliah) sampai masa awal penyiaran Islam, abad ke 7 Masehi, kaum Quraisy di Makkah menyamakan Allah SWT dalam bentuk berhala atau patung.
Banyak sekali patung yang dibuat oleh kaum Quraisy, dan patung-patung tersebut ditempatkan di Ka'bah sebagai sesembahan mereka. Jumlah patung tersebut mencapai 360 buah, tiga di antaranya yang paling besar dinamakan Uzza, Latta, dan Manata.
Jika kaum Quraisy ditanya tentang patung dan berhala yang mereka puja dan mereka sembah itu, mereka mengatakan bahwa mereka tidak menyembah patung-patung tersebut, tetapi hanya sebagai perantara (wasilah) untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT.
Kaum Quraisy mengatakan,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ
Arab Latin: "Maa na'buduhum illaa liyuqarribuuna ilaihi zulfa"
Artinya: "Kami tidak menyembah patung-patung itu kecuali hanya untuk mendekatkan diri kami kepada Allah." (QS. Az-Zumar: 3)
Namun, Allah SWT sama sekali tidak membenarkan perbuatan yang dilakukan terhadap patung-patung yang merajalela di Jazirah Arab pada waktu itu.
Oleh karena itu, kaum Quraisy dicap sebagai kaum musyrik, yaitu orang-orang yang melakukan syirik dan menyekutukan Allah dengan benda atau patung.
Oleh karena itu, hukum patung dalam ajaran Islam adalah haram. Islam sangat melarang perbuatan pemujaan, penyembahan, dan ibadah kepada Allah SWT yang menggunakan perantara, baik manusia ataupun benda, termasuk patung.
(inf/inf)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Merapat! Lowongan di BP Haji Bisa untuk Nonmuslim