Nikah Siri Menurut Islam, Apakah Sah? Ini Pendapat Para Ulama

Nikah Siri Menurut Islam, Apakah Sah? Ini Pendapat Para Ulama

Kholida Qothrunnada - detikHikmah
Jumat, 04 Okt 2024 15:30 WIB
Wedding muslim ceremony in mosque
Ilustrasi nikah siri. Foto: Getty Images/iStockphoto/Minet Zahirovic
Jakarta -

Secara umum, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan resmi di hadapan negara maupun lembaga yang berwenang.

Di Indonesia sendiri, nikah siri dikenal sebagai pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan agama namun tidak dilakukan dihadapan Pegawai Pencatatan Nikah. Oleh sebab itu, tidak ada akta nikah yang dikeluarkan pemerintah atas pelaksanaan nikah siri.

Dalam sejarah Islam, nikah siri juga telah ada pada zaman sahabat. Dikutip dari buku Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri oleh Yani C. Lesar, istilah nikah siri muncul pada zaman sahabat Umar bin Khattab.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kala itu beliau memberitahu bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak dihadiri saksi, kecuali hanya seorang perempuan dan seorang laki-laki.

Dalam sebuah riwayat masyhur (populer), sahabat Umar bin Khattab pernah berkata:

ADVERTISEMENT

Ω‰Ψ°Ψ§ Ω†ΩƒΨ§Ψ­ Ψ§Ω„Ψ³Ψ± , Ω‹Ω„Ψ§ Ψ£Ψ¬ΩŠΨ³Ω‡ Ω„ΩŒ ΩƒΩ†Ψͺ ΨͺΩ‚Ψ― Ω…Ψͺ Ψ¬Ω…ΨͺΩ„Ψ±

Artinya: "Ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam."

Dalam persepsi Umar, nikah siri didasarkan oleh adanya kasus perkawinan yang hanya menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan.

Pendapat Para Ulama tentang Nikah Siri

Ulama-ulama besar sesudahnya, seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'l berpendapat kalau nikah siri itu tidak boleh. Apabila itu terjadi maka harus di-fasakh (batal).

Namun, jika saksi telah terpenuhi tapi dipesan oleh wali untuk merahasiakan perkawinan yang mereka saksikan, para ulama berbeda pendapat.

Dalam konteks ini, Imam Malik memandang jika pernikahan yang dipesan untuk tidak diumumkan merupakan sama dengan pernikahan siri sehingga harus di-fasakh. Menurutnya, yang menjadi syarat mutlak sahnya perkawinan yaitu pengumuman (i'lan).

Sementara, menurut Abu Hanifah, Syafi'i, dan Ibnu Mundzir, nikah semacam itu bukanlah nikah siri, sebab saksi itu sendiri berfungsi sebagai pengunguman.

Jika sudah disaksikan, maka tidak perlu lagi ada pengunguman khusus. Pasalnya, kehadiran saksi saat melakukan akad nikah sudah cukup mewakili fungsi i'lan. Karena menurut mereka, jika sudah ada 4 orang maka tidak ada lagi rahasia.

Dikutip dari buku Fiqih Munakahat: Hukum Pernikahan Dalam Islam oleh Sakban Lubis., dalam perspektif fiqh, nikah siri adalah nikah yang tidak dihadiri 2 orang saksi lau-laki atau dihadiri saksi namun jumlahnya belum mencukupi.

Nikah jenis ini hukumnya tidak sah. Apabila terjadi nikah siri, harus difasakh oleh hakim. Dalam hal ini, anak yang lahir dari nikah siri nasabnya dihubungkan pada ibunya.

Dengan demikian bisa ditarik pengertian kalau nikah siri itu sebenarnya berkaitan dengan fungsi adanya saksi. Ulama sepakat bahwa saksi berfungsi sebagai pengunguman (i'lan wa syuhr) kepada orang-orang tentang adanya perkawinan.

Pendapat Imam Abu Hanifah dan Syafi'i, menyebut nikah siri itu tidak boleh dan jika terjadi harus dibatalkan oleh Pengadilan Agama.

Pendapat tersebut diperkuat hadits Nabi Muhammad SAW, ΨΉΩ† Ψ§Ψ¨Ω† ΨΉΨ¨Ψ§Ψ³ Ψ£Ω† Ψ§Ω„Ω†Ψ¨ΩŠ Ψ΅Ω„ΨΉΩ… Ω‚Ψ§Ω„: Ψ§Ω„Ψ¨ΨΊΨ§ΩŠΨ§ Ω„Ω„Ψ§Ψͺي ΩŠΩ†ΩƒΨ­Ω† أنفسهن بغير Ψ¨ΩŠΩ†Ψ© (Ψ±ΩˆΨ§Ω‡ Ψ§Ω„ΨͺΨ±Ω…Ψ°ΩŠ)

Artinya "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwasanya Nabi SAW bersabda: 'Pelacur adalah wanita yang mengawinkan dirinya tanpa (ada) bukti.'" (HR. Tirmidzi).

Dari hadits di atas, menegaskan bahwa alat bukti atau kesaksian adalah hal yang penting dalam sebuah pernikahan.

Menempatkan saksi sebagai bagian dari rukun nikah, menunjukkan kalau yang dimaksud bukti menurut para fuqaha adalah kesaksian. Karena hal itu memungkinkan bagi seseorang untuk membuat bukti tertulis (akta nikah).

Kenyataannya, dalam masyarakat kita masih sering melakukan nikah siri. Tapi, yang dimaksud nikah siri dalam pengertian ini yaitu nikah yang sah menurut agama, namun tidak sah menurut undang-undang.

Keragaman interpretasi terkait nikah siri bermula dari adanya pengertian yang berbeda. Hal tersebut kemudian menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula.

Nikah siri disebut juga sebagai pernikahan di bawah tangan, di mana bentuk pernikahannya memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan syariat meskipun tanpa pencatatan secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA).

Meskipun nikah siri dalam pengertian ini memungkinkan sah secara syariat (hukm al-tasyr'i), tapi secara administratif (hukm al-ijra'i) pernikahan semacam ini tetap tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah atau penguasa.

Oleh sebab itu, segala akibat yang timbul dari pernikahan siri itu menjadi tidak bisa diproses secara hukum. Dari penjelasan di atas, nampaknya lingkup pengertian nikah siri bisa dilihat dari macam sudut pandang.

Namun, kecenderungan para fuqaha memaknai bahwa nikah siri itu terkait dengan ketidakhadiran saksi.




(khq/fds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads