Apa Hukum Memelihara Anjing dalam Islam? Ini Pendapat dari 3 Mazhab

Apa Hukum Memelihara Anjing dalam Islam? Ini Pendapat dari 3 Mazhab

Elmy Tasya Khairally - detikHikmah
Senin, 05 Agu 2024 11:45 WIB
Rencana Pemerintahan Erdogan Berantas Anjing Liar
Ilustrasi hukum memelihara anjing dalam Islam. Foto: DW (News)
Jakarta -

Dalam sebuah hadits, dikatakan anjing merupakan salah satu hewan yang memiliki najis berat. Sehingga, seringkali umat Islam menjauhi hewan ini agar terhindar dari najisnya.

Namun, mungkin masih banyak umat Islam yang mempertanyakan hukum memelihara anjing. Mengenai hal ini, ada perbedaan mengenai kebolehan memelihara anjing Berikut penjelasan menurut mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali.

Hukum Memelihara Anjing dari 3 Mazhab

Mazhab Syafii dan Hanabil memandang sama mengenai hukum memelihara anjing. Namun, Imam Maliki memiliki pendapat yang berbeda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Madzhab Syafii

Mengutip laman Kemenag, menurut Imam Syafi'i menyucikan diri usai berinteraksi dengan anjing lebih sulit karena adanya najis mughaladzah (najis berat). Terkait pemeliharaan hewan tersebut, Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya bahwa umat muslim yang memelihara anjing tanpa hajat tertentu pahalanya akan dikurangi. Beliau bersabda:

من اقتنى كلبا ليس بكلب صيد، ولا ماشية ولاأرض، فإنه ينقص من أجره قيراطان كل يوم

ADVERTISEMENT

Artinya: "Siapa saja yang memelihara anjing bukan anjing pemburu, penjaga ternak, atau penjaga kebun, maka pahalanya akan berkurang sebanyak dua qirath setiap hari." (HR Muslim).

Berdasarkan hadits ini, Imam Syafi'i tidak membolehkan memelihara anjing kecuali ada hajat. Mengutip laman UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, salah satu pendapat yang mengatakan hal ini adalah Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu:

(الْخَامِسَةُ) قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ لَا يَجُوزُ اقْتِنَاءُ الْكَلْبِ الَّذِي لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ وَحَكَى الرُّويَانِيُّ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ جَوَازَهُ دَلِيلُنَا الْأَحَادِيثُ السَّابِقَةُ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَيَجُوزُ اقْتِنَاءُ الْكَلْبِ لِلصَّيْدِ أَوْ الزَّرْعِ أَوْ الْمَاشِيَةِ بِلَا خِلَافٍ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَفِي جَوَازِ إيجَادِهِ لِحِفْظِ الدُّورِ وَالدُّرُوبِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا

Artinya: "(Yang kelima) Imam Syafi'i dan pengikutnya berkata tidak diperbolehkan memelihara anjing yang tidak ada manfaatnya. Imam Al Ruwyani menceritakan dari Abu Hanifah tentang diperbolehkannya hal tersebut berdasarkan hadits yang telah lalu. Kemudian Imam Syafi'i dan pengikutnya berkata diperbolehkan memelihara anjing untuk berburu atau menanam atau menuntun tanpa adanya perbedaan terkait apa yang telah dijelaskan oleh mushonnif. Adapun kebolehan memelihara anjing untuk menjaga rumah atau gerbang terdapat dua qoul yang masyhur yang telah dijelaskan oleh mushonnif beserta dalilnya."

2. Mazhab Maliki

Berbeda dengan Imam Syafi'i, Imam Malik membolehkan umat muslim memelihara anjing untuk berbagai keperluan. Hal tersebut diungkapkan ulama madzhab Malik, Ibnu Abdil Barr:

وأجاز مالك اقتناء الكلاب للزرع والصيد والماشية وكان بن عمر لا يجيز اتخاذ الكلب إلا للصيد والماشية خاصة ووقف عندما سمع ولم يبلغه ما روى أبو هريرة وسفيان بن أبي زهير وبن مغفل وغيرهم في ذلك

Artinya: "Imam Malik membolehkan pemeliharaan anjing untuk jaga tanaman, perburuan, dan jaga hewan ternak. Sahabat Ibnu Umar tidak membolehkan pemeliharaan anjing kecuali untuk berburu dan menjaga hewan ternak. Ia berhenti ketika mendengar dan hadits riwayat Abu Hurairah, Sufyan bin Abu Zuhair, Ibnu Mughaffal, dan selain mereka terkait ini tidak sampai kepadanya." (Ibnu Abdil Barr).

Menurut pendapat ini, memelihara anjing tidak diharamkan. Larangan rasulullah dalam hadits hanya bersifat makruh. Berikut pernyataan Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya:

وفي هذا الحديث دليل على أن اتخاذ الكلاب ليس بمحرم وإن كان ذلك الاتخاذ لغير الزرع والضرع والصيد لأن قوله من اتخذ كلبا - [ أو اقتنى كلبا ] لا يغني عنه زرعا ولا ضرعا ولا اتخذه للصيد نقص من أجره كل يوم قيراط يدل على الإباحة لا على التحريم لأن المحرمات لا يقال فيها من فعل هذا نقص من عمله أو من أجره كذا بل ينهى عنه لئلا يواقع المطيع شيئا منها. وإنما يدل ذلك اللفظ على الكراهة لا على التحريم والله أعلم

Artinya: "Pada hadits ini terdapat dalil bahwa memelihara anjing haram sekalipun bukan untuk kepentingan jaga tanaman, ternak perah, dan berburu. Maksud redaksi hadits, 'Siapa saja yang menjadikan anjing atau memelihara anjing bukan untuk jaga tanaman, jaga ternak perah, atau berburu maka akan berkurang pahalanya sebanyak satu qirath,' menunjukkan kebolehan bukan pengharaman. Pasalnya, pengharaman tidak bisa ditarik dari pernyataan, 'Siapa yang melakukan ini, maka akan berkurang amalnya atau pahalanya sekian.' Larangan itu dimaksudkan agar Muslim yang taat tidak jatuh di dalamnya. Lafal ini menunjukkan larangan makruh, bukan haram. Wallahu a'lam."

Ibnu Abdil Barr mengatakan, kualitas pemeliharaan anjing tergantung pada perlakuan manusia terhadap hewan tersebut. Jika perilaku keseharian orang yang memeliharanya baik, maka Allah akan memberi pahala. Namun, jika perilakunya buruk, Allah membalasnya dengan dosa.

وقد يكون في التقصير في الإحسان إلى الكلب لأنه قانع ناظر إلى يد متخذه ففي الإحسان إليه أجر كما قال صلى الله عليه وسلم في كل ذي كبد رطبة أجر وفي الإساءة إليه بتضييقة وزر

Artinya: "Terkadang terjadi kelalaian untuk berbuat baik terhadap anjing. Hal ini cukup dilihat dari tangan orang yang memeliharanya. Berbuat baik terhadap anjing bernilai pahala sebagaimana sabda Rasulullah SAW, 'Pada setiap limpa yang basah terdapat pahala.' Berbuat jahat dengan kezaliman tertentu terhadap anjing bernilai dosa."

3. Mazhab Hambali

Mazhab Hambali atau Imam Ahmad bih Hanbali sama dengan madzhab Syafi'i yang mengatakan haram jika tidak ada hajat tertentu. Pendapat ini diungkapkan oleh salah satu ulama mazhab Hanbali, Ibn Quddamah dalam kitab Asy-Syarh Al-Kabir ma'al Mughni.

وأما اقتناؤه لحفظ البيوت فقد قال ابن قدامة : لا يجوز على الأصح للخبر المتقدم ، ويحتمل الإباحة (الشرح الكبير مع المغني 4 / 14)

Ibn Quddaamah (dari madzhab Hanabilah) mengatakan, memelihara anjing untuk menjaga rumah menurut pendapat yang paling shahih tidak diperbolehkan. Hal yang kemungkinan berlaku untuk hukum yang membolehkannya.

Hadits tentang Kenajisan Anjing

Mengutip NU Online, mazhab Syafi'i dan Hanbali menilai bekas jilatan anjing dan keringatnya sebagai najis berat. Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعا وَلِمُسْلِمٍ:أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Artinya: "Apabila anjing minum dari wadah salah seorang di antaramu, maka basuhlah tujuh kali." (HR Muslim).

Dalam kitab Kanzur Raghibin fi Minhajit Thalibin oleh Jalaluddin Al-Mahalli, dijelaskan bahwa benda yang terkena air liur anjing dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur debu suci.

مَسْأَلَةٌ: فَإِنْ وَلَغَ فِي الإِنَاءِ كَلْبٌ أَيَّ إنَاءٍ كَانَ وَأَيَّ كَلْبٍ كَانَ كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ غَيْرَهُ, صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا فَالْفَرْضُ إهْرَاقُ مَا فِي ذَلِكَ الإِنَاءِ كَائِنًا مَا كَانَ ثُمَّ يُغْسَلُ بِالْمَاءِ سَبْعَ مَرَّاتٍ, وَلاَ بُدَّ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ مَعَ الْمَاءِ, وَلاَ بُدَّ, وَذَلِكَ الْمَاءُ الَّذِي يُطَهَّرُ بِهِ الإِنَاءُ طَاهِرٌ حَلاَلٌ

Artinya: "Masalah, jika seekor anjing-anjing mana pun baik anjing pemburu maupun yang lain, baik besar maupun kecil-menjilat di dalam sebuah bejana mana pun itu, maka (kita) wajib menumpahkan seluruh isi bejana tersebut, lalu membasuhnya sebanyak tujuh kali. Dan tidak boleh tidak, salah satunya dengan debu bersama air. Tidak boleh tidak bahwa air yang dipakai untuk membasuh adalah air yang suci dan halal."

Sementara itu, Imam Maliki menganggap anjing hewan yang suci. Namun benda yang terkena air liur anjing, kemasukkan kaki, atau lidahnya tetap harus dibasuh tujuh kali. Hal ini sebagai bentuk kepatuhan kepada syariat.

Itulah penjelasan mengenai hukum memelihara anjing. Perlu diketahui, mayoritas masyarakat Indonesia mengikuti madzhab Syafi'i, sehingga alangkah baiknya kita mengikuti kehati-hatian dari Imam Syafi'i tanpa menyalahkan pendapat ulama lainnya.




(row/row)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads