Ramai Fatwa Salam Lintas Agama, Guru Besar UIN Jakarta Beri Tanggapan

Ramai Fatwa Salam Lintas Agama, Guru Besar UIN Jakarta Beri Tanggapan

Hanif Hawari - detikHikmah
Sabtu, 01 Jun 2024 15:00 WIB
Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie (Foto: Dok. Pribadi)
Jakarta -

Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, menanggapi polemik Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai larangan menyampaikan salam lintas agama. Menurutnya, perkara tersebut perlu ditempatkan pada dua ranah yang berbeda, yaitu arena internum dan eksternum.

Misal, tidak lazim menyampaikan salam lintas agama dalam forum internum umat Islam. Seperti dalam Khotbah Jumat atau pengajian keagamaan yang hanya dihadiri oleh umat Islam.

Beda halnya jika dilakukan di forum publik. Seperti forum yang diselenggarakan oleh lembaga publik pemerintahan atau forum resmi lintas agama lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu konteksnya forum eksternum, publik. Ini menjadi bagian dari ikhtiar membangun harmoni antarumat beragama," ujar Profesor Tholabi, dalam keterangan persnya, Sabtu (1/5/2024).

Artinya, salam lintas agama harus ditempatkan pada porsi yang tepat. Hal itu berkaitan dengan pelaksanaan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena fatwa tersebut tentu tidak ditujukan dalam konteks eksternal umat Islam.

ADVERTISEMENT

"Fatwa konteksnya ditujukan kepada internal umat Islam dan ditempatkan pada forum internal umat Islam," jelas Wakil Rektor bidang Akademik UIN Jakarta itu.

Karena bercampurnya forum internum dan forum eksternum dalam merespons fatwa tersebut, akihrnya menjadi polemik dikalangan masyarakat. Padahal, ada perkara yang bersifat internal bagi umat beragama, dan ada juga yang bersifat eksternal atau antarumat beragama.

"Polemik yang muncul disebabkan fatwa tersebut dibaca dan ditempatkan pada forum eksternum atau ruang publik," kata Tholabi.

Dia menyatakan bahwa terkadang, kaidah agama dapat diakomodasi melalui kaidah hukum, namun kadang-kadang juga tidak dapat. Fatwa MUI ini masuk kategori kaidah agama yang tidak dapat diakomodasi dalam kaidah hukum (positif).

"Di sini pentingnya pemilahan forum internum dan eksternum. Negara menjamin setiap umat beragama dalam mengekspresikan agama dan keyakinannya," ungkap Tholabi.

"Itu konteksnya forum internum. Dalam forum eksternum, negara berkewajiban membangun harmoni antarumat beragama,"sambugnya.

Tholabi mengingatkan tentang relativitas fatwa. Sebagai produk pemikiran hukum Islam, fatwa tentu tidak bersifat mengikat dan absolut. Kecuali bagi mustafti atau pemohon fatwa.

"Akan selalu ada tafsir-tafsir berbeda berdasarkan pemahaman atas teks-teks suci. Publik harus bijak dan bajik. Tidak saling klaim kebenaran mutlak atau menghujat suatu pendapat hukum tertentu," tukasnya.




(hnh/lus)

Hide Ads