Bentuk Sajadah Pertama dalam Islam dan Perkembangannya

Bentuk Sajadah Pertama dalam Islam dan Perkembangannya

Anisa Rizki Febriani - detikHikmah
Rabu, 24 Apr 2024 06:30 WIB
Di Pasar Tanah Abang jual sajadah asal Turki dan India.
Ilustrasi sajadah (Foto: Citra Fitri Mardiana/detikFinance)
Jakarta -

Sajadah merupakan alas yang digunakan umat Islam ketika salat. Seiring berjalannya waktu, desain dan bahan pembuatan sajadah mengalami perkembangan.

Awal mula sajadah sebagai alas salat dalam Islam digunakan pada era Nabi Muhammad SAW.

Menyadur dari laman The National News, Rasulullah SAW dahulu salat di atas tikar yang terbuat dari daun palem dan disebut sebagai khumrah. Penggunaan sajadah dimaksudkan untuk menjaga kesucian umat Islam saat salat, terutama ketika sujud. Sebab itu, sajadah harus selalu berada dalam kondisi bersih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tampilan sajadah awal dalam sejarah Islam memiliki desain umum dan dasar yang tampak seperti sebuah pintu ke surga. Simbol yang paling penting yang ditemukan di sajadah adalah mihrab atau ceruk dengan pintu melengkung yang ditenun.

Sajadah memiliki beragam desain hiasan di permukaannya. Umumnya, hiasan di permukaan sajadah berbentuk geometris, bunga Arab, atau menggambarkan simbol dan arsitektur Islam seperti Ka'bah di Makkah atau Masjid Al Aqsa di Yerusalem.

ADVERTISEMENT

Variasi Desain Sajadah di Berbagai Negara

Perkembangan desain pada sajadah semakin bervariasi seiring berjalannya waktu. Biasanya, desain sajadah bermacam-macam sesuai dengan negara pembuatnya. Sebagai contoh, mihrab yang ditemukan di Afghanistan umumnya merupakan struktur bujur sangkar vertikal.

Di Turki, bentuk mihrab cenderung bersudut tajam dan runcing. Sementara itu, mihrab Persia klasik sangat mewah dan bentuknya melengkung, serta padat dengan motif bunga yang detail.

Sajadah bahkan menarik minat para pemimpin muslim sejak awal. Mereka akan menugaskan seniman-seniman terhebat untuk membuat sajadah yang cocok untuk para pemimpin dan diberikan sebagai hadiah kepada para pemimpin lainnya.

Selain menjadi alas salat, sajadah juga berfungsi sebagai hiasan atau lukisan yang digantung di dinding rumah. Di bawah dinasti Ottoman, Safawi dan Mughal, industri sajadah berkembang dan karpet dianggap sebagai harta nasional. Sajadah dan karpet diperdagangkan ke Eropa dan Timur Jauh.

Nonmuslim Menenun Sajadah pada Periode Ottoman

Selama periode Ottoman atau Utsmani, banyak sajadah yang sebenarnya ditenun oleh orang-orang Kristen yang mencari nafkah melalui kerajinan tenun kuno untuk komunitas muslim. Tidak jarang ditemukan sajadah atau karpet kuno pada awal abad ke-20 dengan salib dalam desainnya.

Salah satu sajadah dengan desain yang unik dan detail adalah sajadah Utsmani, yang memiliki hiasan dengan gambar lentera kaca atau lampu di bagian mihrabnya.

Sajadah terbuat dari wol domba itu kini ditampilkan di pusat Inisiatif Fatima Bint Mohammed Bin Zayed di Jumeirah, Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).

Produksi sajadah di Asia Tengah tersebar luas di kota-kota dan di antara suku-suku yang menjalani atau mengadopsi gaya hidup menetap. Faktanya, suku-suku yang menetap lebih responsif terhadap pengaruh asing, termasuk pengaruh agama sementara suku nomaden berpegang teguh pada tradisi budaya mereka sendiri, berupaya menjaga kemurnian suku tersebut.

Sajadah dengan bordir banyak ditemukan di kalangan masyarakat Uzbek dan Tajik. Berbagai desain dan dekorasi sajadah ini memiliki keterkaitan tersendiri terhadap pandangan spiritual yang khas dari berbagai lapisan masyarakat.

Masih melansir dari sumber sebelumnya, seorang mufti di Pusat Fatwa Otoritas Umum Urusan Islam dan Wakaf (Awqaf) di Abu Dhabi menyatakan bahwa semua desain sajadah diperbolehkan. Ini berlaku selama tidak mengganggu jemaah dan tidak merendahkan nilai-nilai Islam.




(aeb/rah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads