Hukum Memelihara Anjing dalam Islam

Hukum Memelihara Anjing dalam Islam

Hanif Hawari - detikHikmah
Selasa, 19 Des 2023 08:45 WIB
Seif Raafat, owner of German Shephard dog sprays water and plays with them at a garden in Cairo, Egypt, June 16, 2023. Owners of certain dog breeds in Egypt say they are devastated after the government passed a new law banning the ownership of certain breeds of dogs after an accident involving a Rottweiler killing an Egyptian last April. REUTERS/Ahmed Fahmy      TPX IMAGES OF THE DAY
Bagaimana hukum memelihara anjing dalam Islam? (Foto: REUTERS/Ahmed Fahmy)
Jakarta -

Memelihara anjing bagi umat Islam sebenarnya sudah dijelaskan dalam sebuah hadis. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam tidak melarangnya, tapi menyuruh Muslim untuk menghindari.

Mengutip laman Kemenag, hukum memelihara anjing ini telah djelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah mengatakan, jika seseorang Muslim memelihara binatang tersebut tanpa alasan yang jelas, maka Allah subhanahu wa ta'ala akan mengurangi pahalanya setiap hari.

"Dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: 'Barangsiapa yang memelihara anjing bukan untuk memburu, menjaga ternak, atau menjaga kebun, maka pahalanya akan berkurang sebanyak dua qirath setiap hari'."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai seorang Muslim yang memelihara anjing. Ulama Madzhab Syafi'i menafsirkan bahwa seorang Muslim dilarang memelihara anjing kecuali ada hajat khusus.

Hal itu dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, [Beirut, Mu'assasatul Qurtubah: 1994 M/1414 H], cetakan VIII, juz X, halaman 340). Berikut pernyataannya,

ADVERTISEMENT

"Menurut madzhab kami, memelihara anjing tanpa kebutuhan khusus dianggap haram. Namun, jika anjing dipelihara untuk berburu, menjaga tanaman, atau menjaga ternak, hal itu diperbolehkan. Adapun dalam hal memelihara anjing untuk menjaga rumah, gerbang, atau tujuan lainnya, ulama kami memiliki perbedaan pendapat."

"Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak diperbolehkan berdasarkan larangan yang tegas dalam hadis, yang melarang kecuali untuk tiga tujuan tertentu: menjaga tanaman, berburu, dan menjaga ternak. Pendapat kedua, yang lebih sahih, memperbolehkan dengan mendasarkan pada analogi (qiyas) terhadap tiga kebutuhan tersebut, yang diambil dari hikmah yang terkandung dalam hadis tersebut, yaitu kebutuhan khusus."

Sedangkan menurut ulama dari mazhab Maliki menyatakan, seorang Muslim diizinkan memelihara anjing untuk berbagai keperluan. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abdil Barr yang menukil pernyataan Imam Malik.

"Imam Malik mengizinkan pemeliharaan anjing untuk tujuan menjaga tanaman, berburu, dan menjaga hewan ternak. Sebaliknya, sahabat Ibnu Umar hanya membolehkan pemeliharaan anjing untuk berburu dan menjaga hewan ternak."

"Sikap ini diambilnya setelah mendengar hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Sufyan bin Abu Zuhair, Ibnu Mughaffal, dan yang sejenisnya, sementara hadis-hadis tersebut tidak sampai kepadanya." (Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar Al-Jami' li Madzahibi Fuqaha'il Amshar, [Halab-Kairo Darul Wagha dan Beirut, Daru Qutaibah: 1993 M/1414 H], cetakan I, juz XXVII, halaman 193).

Menurut Ibnu Abdil Barr, memelihara anjing tidak diharamkan. "Larangan" yang disampaikan oleh Rasulullah hanya bersifat makruh. Sementara pengurangan pahala dijelaskan sebagai tindakan preventif, sebagaimana dalam uraian berikut ini:

"Pada hadits ini terdapat dalil bahwa pemeliharaan anjing dianggap haram, meskipun bukan untuk keperluan menjaga tanaman, ternak perah, atau berburu. Makna dari ungkapan hadits 'Siapa saja yang menjadikan anjing' atau 'memelihara anjing' bukan untuk menjaga tanaman, menjaga ternak perah, atau berburu, maka akan berkurang pahalanya sebanyak satu qirath, menunjukkan bahwa yang ditekankan adalah kebolehan, bukan larangan."

"Hal ini disebabkan karena larangan tidak dapat diambil dari pernyataan, 'Siapa yang melakukan ini, maka akan berkurang amalnya atau pahalanya sekian.' Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar Muslim yang taat tidak terjerumus ke dalamnya. Ungkapan ini mengindikasikan larangan yang bersifat makruh, bukan haram. Wallahu a'lam," (Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar Al-Jami'..., halaman 193-194).




(hnh/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads