Secara hukum, tindakan istri mengambil uang di dompet suami tanpa izin tidak dibenarkan. Hal ini dikarenakan uang tersebut dianggap sebagai milik suami, dan istri tidak memiliki hak penuh untuk menggunakannya.
Meskipun demikian, tindakan istri mengambil uang suami tanpa izin dapat dibenarkan atau dianggap boleh dalam beberapa kasus. Terutama jika dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak keluarga, seperti biaya pengobatan atau pendidikan anak. Begini penjelasannya.
Mengutip laman Kemenag, istri memiliki hak untuk memperoleh nafkah dari suami dalam hukum Islam. Nafkah ini mencakup kebutuhan pokok, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan biaya kesehatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika suami tidak memberikan nafkah yang memadai, maka istri diizinkan untuk mengambilnya tanpa izin suami. Meski demikian, istri diharapkan tetap bersikap jujur dan terbuka terhadap suami mengenai hal ini.
Insiden istri mengambil uang suami tanpa izin pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi bersabda;
"Aisyah RA menceritakan bahwa Hindun pernah menanyakan kepada Nabi Muhammad. 'Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan, suami saya, sangat pelit. Nafkah yang diberikannya kepada saya dan anak kami tidak mencukupi, sehingga saya terpaksa mengambil uang tanpa sepengetahuannya,' ujar Hindun. Nabi pun menjawab, 'Ambil secukupnya untuk kebutuhanmu dan anakmu,' " (HR. Al-Bukhari, Ibnu Majah, dan sumber lainnya).
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebut bahwa diperbolehkan mengambil dengan cara yang baik. Yaitu sesuai dengan kebutuhan yang berlaku menurut norma-norma kebiasaan setempat.
Artinya, mengambil uang suami tanpa izin diperbolehkan jika situasinya seperti hadis di atas. Namun perlu dicatat, kebutuhan yang dimaksud oleh istri terkait dengan kebutuhan sehari-hari.
Kewenangan ini hanya berlaku untuk kebutuhan primer yang bersifat pokok dan mendesak. Oleh karena itu, dalam redaksi hadis tersebut disebutkan "yang mencukupimu dan anakmu sebagaimana mestinya (ma'ruf)".
Konteks ini juga berlaku pada penggunaan kata "syahih," yang berarti kikir atau sangat pelit, yang artinya bukan karena niat menabung. Jika seorang istri telah diberikan uang belanja sesuai dengan kebutuhan pokoknya dan itu sudah mencukupi, namun ia ingin membeli kebutuhan yang bersifat tersier seperti make up, pakaian baru, perhiasan, mobil, dan sebagainya, maka hadis ini tidak dapat dijadikan pembenaran untuk tindakan tersebut.
Wallahu a'lam.
(hnh/lus)
Komentar Terbanyak
Sri Mulyani Sebut Bayar Pajak Sama dengan Zakat dan Wakaf, Begini Menurut Islam
Ayu Aulia Sempat Murtad, Kembali Syahadat karena Alasan Ini
Gila! Netanyahu Mau Bikin 'Israel Raya' Caplok Negara-negara Islam