Biografi Tuanku Imam Bonjol, Ulama Sekaligus Pahlawan Nasional Asal Minangkabau

Biografi Tuanku Imam Bonjol, Ulama Sekaligus Pahlawan Nasional Asal Minangkabau

Hanif Hawari - detikHikmah
Kamis, 17 Agu 2023 11:00 WIB
Gambar pahlawan Imam Bonjol dalam pecahan uang Rp 5.000
Tuanku Imam Bonjol. (Foto: Ari Saputra)
Jakarta -

Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama, pemimpin sekaligus pejuang yang berasal dari Sumatera Barat. Namanya dikenal karena berjasa selama berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dinamakan Perang Padri.

Setelah 18 tahun peperangan itu terjadi, akhirnya kemenangan berada di pihak Belanda. Tuanku Imam Bonjol diasingkan oleh Belanda dan meninggal diusia 92 tahun di tempat pengasingannya.

Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Merangkum dari buku Tuanku Imam Bonjol yang ditulis oleh Drs. Mardjani Martamin, berikut biografi singkatnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Latar Belakang Kehidupan

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung pada tanggal 1 Januari 1772 dengan nama asli Muhammad Syahab. Ayahnya adalah Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.

Ibunya Hamatun dan pamannya Syekh Usman adalah perantau bangsa Arab yang datang ke Alai Ganggo Mudik, dan diterima masuk ke dalam tatanan adat Minangkabau. Syekh Usman menjadi penghulu kaum keturunannya, sebagai bagian klan suku Koto.

ADVERTISEMENT

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Syahab sempat mendapat beberapa gelar kehormatan seperti Peto Syarif, Malin Basa, dan yang terakhir Tuanku Imam. Dalam tradisi adat Minangkabau, Tuanku merupakan gelar kehormatan bagi pemimpin agama. Hanya ulama yang telah menguasai ilmu agama Islam yang berhak mendapatkan gelar ini.

Latar Belakang Pendidikan

Pengaruh keagamaan dari sang ayah sangat melekat pada diri Tuanku Imam Bonjol. Sedari kecil, dirinya diminta sang ayah untuk rajin sholat lima waktu, serta diberikan ajaran Islam sesuai syariat yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Sayangnya, sang ayah meninggal saat Syahab masih berusia 7 tahun. Setelah ayahnya meninggal, pendidikan Syahab dilanjutkan oleh sang nenek, Tuanku Bandaharo yang tinggal di Kampung Padang Lawas dalam kenagarian Ganggo Hilir.

Bersama Tuanku Bandaharo, Syahab pergi belajar agama Islam kepada Tuanku Koto Tuo, seorang ulama dengan pengetahuan agama yang sangat luas di Empat Angkat Candung. Dari Tuanku Koto Tuo, Syahab memperoleh ilmu fikih dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi.

Sebagai murid yang sangat cerdas, Syahab dapat mempelajari semua pelajaran yang diberikan Tuanku Koto Tuo dalam waktu singkat. Setelah lulus, akhirnya tugas pengajar Tuanku Koto Tuo diserahkan ke Syahab dan mulai sejak itu ia mendapat gelar Malin Basa.

Dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi, Malin Basa melanjutkan pendidikan agama Islamnya hingga ke Aceh. Perjuangannya menuju Aceh amatlah sulit dan ia mendalami agama Islam di Aceh selama 2 tahun.

Selanjutnya kepada Tuanku Nan Renceh, Malin Basa menambah ilmu baru di Kamang. Karena kondisi di Minangkabau saat itu, Tuanku Nan Renceh tidak hanya mengajarkan pengetahuan agama Islam tetapi juga pengetahuan perang.

Bahkan pada akhirnya pendidikan Malin Basa di Kamang saat itu menitik beratkan ke pengetahuan perang. Bagaimana cara menunggangi kuda sambil memimpin pasukan, bagaimana taktik memimpin perang, bagaimana mencari tempat strategis untuk menyerang dan bertahan, dan ilmu perang lainnya.

Membangun Bonjol

Pada 1807, Malin Basa bersama pengikutnya hijrah dan mendirikan sebuah kota kecil bernama Bonjol. Di tempat ini, gelar baru diberikan yakni gelar Tuanku Imam.

Gelar yang diberikan oleh Tuanku Nan Renceh ini sekaligus merupakan penobatan Malin Basa sebagai pemimpin di Kota Bonjol. Selanjutnya, Malin Basa lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.

Selain menjadi pemimpin umat, Tuanku Imam Bonjol juga mengembangkan usaha perdagangan. Pada masanya, ia berusaha mengamankan jalur perdagangan di pantai barat dan pantai timur Sumatra dengan bantuan hulubalang.

Pengembangan perdagangan ini meluas hingga ke Tapanuli Selatan. Alhasil, pada masa itu Bonjol telah berkembang menjadi pusat pembaruan Islam sekaligus perdagangan di Minangkabau.

Ketika Bonjol dibangun dan terus berkembang, perang saudara tidak terelakkan. Perang saudara itu dikenal sebagai Perang Padri, peperangan yang terjadi antara kaum Padri (ulama) dan kaum adat.

Tuanku Imam Bonjol dan Perang Padri

Gerakan Padri di Minangkabau muncul pertama kali dilatar belakangi setelah tiga orang pulang haji dari Makkah pada 1803 yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Ketiga haji itu berniat ingin memperbaiki syariat Islam yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.

Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh ikut mendukung keinginan ketiga orang haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. Harimau Nan Salapan kemudian meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.

Karena terdesak, pada 21 Februari 1821, kaum adat bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang dan disaksikan oleh sisa keluarga Kerajaan Pagaruyung. Sebagai kompensasi, Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).

Singkat cerita, ternyata keikutsertaan Belanda dalam Perang Padri menimbulkan penyesalan yang mengakibatkan rakyat Minangkabau menjadi sengsara. Akhirnya pada tahun 1833, perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Padri melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, pihak-pihak yang semula bertentangan bersatu melawan Belanda.

Setelah bertahun-tahun melakukan perlawanan yang sangat sengit, barulah pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung. Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Tuanku Imam Bonjol lalu diasingkan ke Cinajur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado.

Di Minahasa ia meninggal dunia pada 18 November 1864 saat usia 92 tahun. Lalu Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Meski telah tiada, sepak terjang Tuanku Imam Bonjol dalam membela syariat Islam dan melawan Belanda tidak lekang oleh waktu. Mengenang jasanya tidak cukup dengan ucapan terima kasih, melainkan juga dengan meneladani sikap dan perbuatannya.




(hnh/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads