Masjid Agung Banten didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Djati. Masjid ini berdiri pada bulan Zulhijah 966 H atau tepatnya pada tahun 1566 M.
Hal tersebut merujuk pada buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia karya Abdul Baqir Zein.
Masih dijelaskan dalam buku yang sama, di depan masjid tersebut terdapat sebuah menara yang dibangun 66 tahun sesudah masjid tersebut berdiri, tingginya mencapai 30 meter. Biasanya, orang-orang yang datang ke Masjid Agung Banten akan berziarah pula ke makam Sultan Maulana Yusuf yang merupakan putra dari Sultan Maulana Hasanuddin yang letaknya di pekarangan masjid.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan hanya itu, di dekat makam tersebut terdapat Al-Qur'an yang ditulis tangan di masa Sultan Maulana Yusuf memerintah.
Sosok Sultan Maulana Hasanuddin
Dalam buku Karakteristik Dan Mitos Masjid Agung Peninggalan Kerajaan Islam di Jawa karya Fairuz Sabiq disebutkan, Sultan Maulana Hasanuddin merupakan raja pertama dari Kesultanan Banten.
Sultan Maulana Hasanuddin menjadi raja pada 1552 dan memerintah selama 18 tahun, yakni sampai tahun 1570. Kedudukannya digantikan oleh putranya yang bernama Panembahan Yusuf atau Maulana Yusuf, seperti dikatakan Deni Prasetyo dalam buku Mengenal Kerajaan-kerajaan Nusantara.
Diterangkan dalam buku Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Tabut karya Japarudin, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, keadaan Banten sudah kuat. Wilayah Banten dikenal sebagai bandar lada terbesar dan dikenal di pasaran Eropa.
Sultan Maulana Hasanuddin pernah melakukan perjalanan bersama Ratu Balo dan Ki Jongjo ke Lampung, Indrapura, Silebar, dan Bengkulu. Ia kemudian menikahi putri Sultan Indrapura dan menerima hadiah perkawinan berupa daerah pantai barat Sumatra sejauh Air Itam ke utara.
Pengaruh Kerajaan Banten ke daerah pesisir barat Sumatra mulai meluas berkat perkawinan tersebut.
Kisah Sultan Maulana Hasanuddin Dirikan Masjid Agung Banten
Inisiatif pembangunan dari Masjid Agung Banten sendiri berasal dari ayahanda Sultan Maulana Hasanuddin yaitu Sunan Gunung Djati, agar membangun masjid seperti Masjid Demak. Pembangunan masjid akhirnya dilakukan pada 1566 M.
Letak Masjid Agung Banten ini menyatu dengan kerajaan dan alun-alun. Pada masa Islam kuno arsitektur kota seperti itu sangatlah dianjurkan. Hal tersebut juga sesuai dengan usul dari Sunan Kalijaga, dengan arsitektur kota yang seperti itu maka penguasa, pemuka agama, dan rakyat menyatu bersama dalam kegiatan-kegiatan.
Pada umumnya, Masjid Agung Banten ini memiliki karakteristik yang sama dengan masjid kuno di jawa lainnya misalnya saja Masjid Agung Demak.
Masih dalam buku yang sama dijelaskan pula mengenai karakteristik Masjid Agung Banten. Misalnya saja pintu masuk Masjid di sisi depan yang berjumlah enam, yang artinya rukun iman. Enam pintu tersebut dibuat pendek supaya setiap jamaah menunduk untuk merendahkan diri saat memasuki rumah Allah SWT.
Tiang masjid yang berjumlah 24, artinya menggambarkan waktu 24 jam dalam sehari. Sedangkan atap dari Masjid Agung Banten memiliki ciri atap yang bertingkat, sama halnya dengan Masjid Agung Demak. Perbedaannya ialah pada Masjid Agung Banten memiliki atap tajug susun lima, di mana dua atap paling atas sangat kecil. Sedangkan Masjid Agung Demak memiliki atap tajug bersusun tiga.
Lambang dari atap tajug yang disusun lima tersebut ialah rukun Islam yang berjumlah lima. Sementara itu, pada serambi masjid letaknya di sebelah timur ruang utama. Serambi masjid ini memiliki tiang penyangga yang terbuat dari batu andesit yang bermotif buah waluh.
Kata waluh ini berasal dari bahasa Arab "wallahi", sehingga dapat diartikan bahwa Masjid Agung Banten ini dibangun atas dasar keyakinan penuh pada Allah SWT. Hingga pada akhirnya Masjid Agung Banten ini memiliki menara yang sangat besar.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa menara tersebut dibangun jauh setelah selesainya Masjid Agung Banten ini. Menara tersebut diameternya kurang lebih 10 meter dengan tinggi kurang lebih 24 meter yang dibangun oleh arsitek Belanda bernama Hendrick Lucasz Cardeel pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Menara tersebut dibangun tepatnya pada abad ke 17 Masehi jauh setelah masa Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Maulana Yusuf.
(kri/kri)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI